JOHANNESBURG, (Panjimas.com) – Para Aktivis Afrika Selatan telah menuntut agar pemerintahan mereka mengambil sikap keras terhadap kekerasan baru-baru ini yang menyasar komunitas Muslim Rohingya di negara bagian Rakhine, Myanmar Barat.
Iqbal Jassat, Anggota Eksekutif kelompok Advokasi Media Review yang berbasis di Johannesburg, mengatakan bahwa Afrika Selatan dapat menggunakan keanggotaannya di PBB untuk mengajukan protes keras mengenai masalah tersebut.
“Ini akan sepenuhnya sesuai dengan advokasi dan pembelaan HAM Afrika Selatan sebagai anggota PBB untuk mencari dan menghentikan pembersihan [etnis] saat ini di Myanmar,” pungkasnya, seperti dilansir Anadolu.
Partai penguasa Afrika Selatan ANC (Kongres Nasional Afrika) memerangi apartheid selama berpuluh-puluh tahun hingga berhasil memimpin negara pada tahun 1994.
Menurut Organisasi Internasional untuk Migrasi (IOM) Hampir 18.000 Muslim Rohingya telah meninggalkan rumah-rumah mereka di negara bagian Rakhine dalam waktu kurang dari sepekan saja.
Kampanye Boikot, Divestasi dan Sanksi (BDS) Afrika Selatan menegaskan dalam pernyataannya Rabu (30/08) bahwa pihaknya mengecam kekerasan dan diskriminasi terhadap minoritas Rohingya.
“Kami bergabung dengan seruan kelompok hak asasi manusia lainnya untuk intervensi mendesak dan diakhirinya kekerasan terhadap minoritas ini. Penindasan Rohingya mengingatkan kami akan penderitaan kami sendiri di bawah apartheid,” kata juru bicara BDS Afrika Selatan, Bawas Kwara Kekana, dalam sebuah pernyataan.
Seorang juru bicara pemerintah Afrika Selatan menolak permintaan kantor beritaAnadolu untuk mengomentari masalah Rohingya.
Serangan mematikan terhadap pos-pos perbatasan di negara bagian Rakhine, Myanmar Barat, terjadi pada hari Jumat (25/08), mengakibatkan korban sipil massal, menyebabkan lebih dari 100 orang tewas. Kemudian, laporan media muncul mengatakan bahwa pasukan keamanan Myanmar dilaporkan telah memindahkan ribuan penduduk desa-desa Muslim Rohingya, bahkan membakar rumah-rumah mereka dengan mortir dan senapan mesin.
Ditrik Maungdaw terletak di sepanjang Sungai Naf yang memisahkan Myanmar dan Bangladesh di Rakhine Utara.
Dari hampir 90 korban tewas diantarnya merupakan seorang tentara, 10 petugas polisi, seorang petugas imigrasi dan 77 gerilyawan tewas dalam serangan tersebut dan 15 orang luka-luka, menurut Kantor Penasihat Negara Aung San Suu Kyi dalam sebuah pernyataan. Dua militan ARSA ditangkap. Dikabarkan bahwa beberapa jembatan telah hancur dalam serangan tersebut dan tiga kendaraan polisi terkena ranjau darat.
Seorang pejabat negara bagian Rakhine mengatakan kepada Anadolu bahwa kebijakan jam malam telah diberlakukan di Distrik Maungdaw, menggantikan jam malam parsial yang telah berlangsung bertahun-tahun lamanya.
Setelah penyelidikan sepanjang tahun mengenai situasi di Rakhine, Komisi Penasihat yang dipimpin Kofi Annan menyerukan “tindakan mendesak dan berkelanjutan di sejumlah bidang untuk mencegah kekerasan, menjaga perdamaian, menumbuhkan rekonsiliasi dan menawarkan harapan kepada penduduk yang tertindas.”
Sebuah operasi keamanan yang diluncurkan pada bulan Oktober tahun lalu di Maungdaw, wilayah dimana pnduduk Rohingya menjadi mayoritas. Tak lama kemudian, Operasi militer di Maungdaw menyebabkan PBB merilis laporan mengenai pelanggaran-pelangggaran hak asasi manusia oleh pasukan keamanan Myanmar yang mengindikasikan kejahatan terhadap kemanusiaan.
PBB mendokumentasikan pemerkosaan kelompok massal, pembunuhan, termasuk bayi dan anak-anak, pemukulan dan penghilangan brutal. Perwakilan Rohingya mengatakan sekitar 400 penduduk tewas dalam operasi militer tersebut.[IZ]