JENEWA, (Panjimas.com) – PBB pada hari Selasa (29/08) mendesak Bangladesh untuk membuka perbatasannya bagi Muslim Rohingya yang melarikan diri dari tindak kekerasan yang berlangsung di Negara Bagian Rakhine, Myanmar.
Komisaris Tinggi PBB untuk Hak Asasi Manusia Zeid Ra’ad al-Hussein, dalam sebuah pernyataan pada hari Selasa (29/08) mengatakan lebih dari 8.700 Muslim Rohingya telah melarikan diri dari Myanmar ke Bangladesh sejak kekerasan baru-baru ini.
Al-Hussein menegaskan bahwa “peristiwa” baru-baru ini suatu hal yang “menyedihkan”.
“Itu diprediksi dan bisa dicegah,” kata Hussein. “Beberapa dekade pelanggaran hak asasi manusia yang terus-menerus dan sistematis, termasuk respon pasukan keamanan yang sangat keras terhadap serangan sejak Oktober 2016, hampir pasti berkontribusi pada pemupukan ekstremisme kekerasan, dan setiap pihak akhirnya kalah”, seperti dikutip dari Anadolu Ajensi.
PBB Mendesak Myanmar untuk memfasilitasi akses kemanusiaan ke Rakhine, Zeid Ra’ad al-Hussein mengatakan: “Negara memiliki kewajiban untuk melindungi mereka yang berada dalam wilayahnya – tanpa diskriminasi.”
“Pada hari Ahad (27/08) diperkirakan sekitar 5.200 orang memasuki Bangladesh dari Myanmar sejak Kamis,” kata juru bicara Badan Pengungsi PBB UNHCR Adrian Edwards dalam sebuah konferensi pers di Jenewa, Selasa (29/08).
Penduduk Rohingya yang melarikan diri dari kekerasan dicegah masuk ke Bangladesh, Edwards mengatakan beberapa ribu orang telah menunggu untuk melintasi perbatasan di sepanjang perbatasan Myanmar-Bangladesh.
Harian Bangladesh “Daily Star” melaporkan pada hari Selasa (29/08) bahwa ribuan orang “mendirikan tempat penampungan sementara di sepanjang kanal Tombru di dekat titik perbatasan di [Naikhongchari Upazila] Bandarban [sebuah distrik di bagian Tenggara Bangladesh]”.
Badan pengungsi PBB, UNHCR, juga mengutuk kekerasan di Rakhine.
“Kami prihatin bahwa jumlah orang yang membutuhkan bantuan mungkin akan meningkat lebih lanjut dalam beberapa hari mendatang,” kata Edwards.
UNHCR menyerukan masyarakat internasional untuk mendukung Bangladesh agar mengizinkan Muslim Rohingya yang melarikan diri dari kekerasan untuk memperoleh keselamatan.
Mengenai akses bagi Muslim Rohingya di Myanmar yang membutuhkan pertolongan telah “sangat dibatasi”, jubir UNHCR Adrian Edwards mengatakan: “Kami mendesak otoritas Myanmar untuk melakukan segala kemungkinan untuk memfasilitasi bantuan kemanusiaan dan menjamin keamanan staf kami.”
Sekretaris Jenderal PBB Antonio Guterres pada hari Senin (28/08) mendesak Myanmar untuk memberikan akses ke badan-badan kemanusiaan menyusul laporan jatuhnya banyak korban sipil secara massal menyusul operasi militer oleh pasukan keamanan Myanmar terhadap gerilyawan Rohingya.
Serangan mematikan terhadap pos-pos perbatasan di negara bagian Rakhine, Myanmar Barat, terjadi pada hari Jumat (25/08), mengakibatkan korban sipil massal, menyebabkan lebih dari 100 orang tewas. Kemudian, laporan media muncul mengatakan bahwa pasukan keamanan Myanmar dilaporkan telah memindahkan ribuan penduduk desa-desa Muslim Rohingya, bahkan membakar rumah-rumah mereka dengan mortir dan senapan mesin.
European Rohingya Council (ERC) mengatakan bahwa banyak orang termasuk wanita dan anak-anak berlindung di hutan, sementara yang lainnya walau penuh risiko menyeberangi perbatasan Myanmar-Bangladesh, sementara sebagian besar kini terdampar di pinggiran Sungai Naf ditengah pemerintah Bangladesh yang terus memperketat keamanan perbatasannya dan mendorong mundur para pengungsi yang melarikan diri ke Bangladesh, agar kembali ke Rakhine.
“Kami memohon kepada masyarakat internasional untuk menerapkan ‘Tanggung Jawab untuk Melindungi’ karena kini penduduk sipil Rohingya menjadi korban dariepisode lain dari meluasnya ‘kejahatan terhadap kemanusiaan’ di bawah tangan besi Angkatan Bersenjata Myanmar,” kata European Rohingya Council (ERC) dalam pernyataan persnya, dikutip dari AA.
Dewan Rohingya Eropa juga mengatakan bahwa waktu dirilisnya laporan akhir Komisi Penasihat Negara Bagian Rakhine yang juga mantan Sekjen PBB Kofi Annan bertepatan dengan momentum insiden kekerasan di Rakhine dan ini bukanlah sebuah kebetulan.
“Ini adalah usaha yang diperhitungkan untuk merongrong rekomendasi komisi [penasihat] tersebut, yang mengusulkan pemberian status kewarganegaraan Rohingya, kebebasan bergerak, akses kesehatan dan pendidikan, akses terhadap bantuan kemanusiaan, serta akses warga sipil dan media,” pungkas ERC.
Ditrik Maungdaw terletak di sepanjang Sungai Naf yang memisahkan Myanmar dan Bangladesh di Rakhine Utara.
Dari hampir 90 korban tewas diantarnya merupakan seorang tentara, 10 petugas polisi, seorang petugas imigrasi dan 77 gerilyawan tewas dalam serangan tersebut dan 15 orang luka-luka, menurut Kantor Penasihat Negara Aung San Suu Kyi dalam sebuah pernyataan. Dua militan ARSA ditangkap. Dikabarkan bahwa beberapa jembatan telah hancur dalam serangan tersebut dan tiga kendaraan polisi terkena ranjau darat.
Seorang pejabat negara bagian Rakhine mengatakan kepada Anadolu bahwa kebijakan jam malam telah diberlakukan di Distrik Maungdaw, menggantikan jam malam parsial yang telah berlangsung bertahun-tahun lamanya.
Setelah penyelidikan sepanjang tahun mengenai situasi di Rakhine, Komisi Penasihat yang dipimpin Kofi Annan menyerukan “tindakan mendesak dan berkelanjutan di sejumlah bidang untuk mencegah kekerasan, menjaga perdamaian, menumbuhkan rekonsiliasi dan menawarkan harapan kepada penduduk yang tertindas.”
Sebuah operasi keamanan yang diluncurkan pada bulan Oktober tahun lalu di Maungdaw, wilayah dimana pnduduk Rohingya menjadi mayoritas. Tak lama kemudian, Operasi militer di Maungdaw menyebabkan PBB merilis laporan mengenai pelanggaran-pelangggaran hak asasi manusia oleh pasukan keamanan Myanmar yang mengindikasikan kejahatan terhadap kemanusiaan.
PBB mendokumentasikan pemerkosaan kelompok massal, pembunuhan, termasuk bayi dan anak-anak, pemukulan dan penghilangan brutal. Perwakilan Rohingya mengatakan sekitar 400 penduduk tewas dalam operasi militer tersebut.[IZ]