JAKARTA (Panjimas.com) – Mayoritas Etnis Rohingya yang tinggal di Rakhine, tertolak di Myanmar, tertindas di Bangladesh. Tanpa identitas dari Myanmar mereka dianggap imigran gelap Bangladesh. Sebaliknya, Bangladesh menganggap mereka warga Myanmar.
Sejak 1982, Etnis Rohingya dipersekusi dan pengusiran berulang kali. Sepekan ini lebih dari 3000 orang mengungsi akibat kebrutalan militer Myanmar. Bahkan lebih dari 800 orang termasuk perempuan dan anak-anak menjadi korban pembunuhan genosida pemerintah Myanmar.
Untuk itu, Pimpinan Pusat (PP) Muhammadiyah menyatakan sikapnya dengan mendesak Persatuan Bangsa-bangsa (PBB) menangani langsung tragedi pembantaian yang terus berlangsung itu.
“Sudah terbukti secara meyakinkan pemerintah Myanmar tidak bersedia menghentikan praktek genosida terhadap etnis Rohingya,” ujar Bahtiar Effendy Pimpinan Pusat Muhamamdiyah dalam pres releasenya, Kamis (31/8/2017).
Muhammadiyah juga mendesak Bangladesh membuka pintu perbatasan demi kemanusiaan. Aktifis HAM (Hak Asasi Manusia) dan kemanusiaan harus turut campur sehingga tragedi ini segera diakhiri.
“Muhammadiyah bersedia menjadi leading sector mengorganisasikan negara ASEAN dan dunia untuk menggalang bantuan dan dukungan kemanusiaan bagi etnis Rohingya,” ucapnya.
Aung San Suu Kyi peraih perhargaan nobel perdamaian seharusnya dicabut gelarnya, sebagai pemimpin terkemuka justru memperburuk keadaan. PP Muhammadiyah juga mendesak Mahkamah Kejahatan Internasional untuk segera mengadili kepada pihak-pihak yang bertanggungjawab.
“Kepada pemerintah Indonesia secepatnya mengevaluasi kebijakan diplomasi sunyi dengan Myanmar. Dipertimbangkan juga kawasan yang bisa menampung sementara pengungsi Rohingya,” imbuhnya.
PP Muhammadiyah berharap hal ini segera ditindak lanjuti. Sebab dampak pembantaian tersebut akan mengancam keamanan dan stabilitas kawasan Asia Tenggara, dengan kemungkinan tumbuhnya kelompok perlawanan terhadap Myanmar. [SY]