KHARTOUM, (Panjimas.com) – Sudan dan Libya sepakat untuk menormalkan hubungan diplomatik setelah sebelumnya sempat bersitegang dan saling mengamankan wilayah perbatasannya.
Dalam sebuah konferensi pers bersama dengan Perdana Menteri Libya Fayez Mustafa al-Sarraj di ibukota Khartoum pada hari Ahad (27/08), Presiden Sudan Omer Al-Bashir menyatakan dukungannya untuk pemerintah Libya yang diakui secara internasional dan stabilitas di negara tersebut.
Kunjungan pemimpin Libya tersebut terjadi di tengah peristiwa krisis diplomatik yang meletus pada Juli lalu, saat Libya memerintahkan penutupan Konsulat Sudan di kota Kofra, di Tenggara Libya, dan mengusir 12 diplomat Libya.
Presiden Sudan Omer Al-Bashir menolak “agenda” lain di Libya dan menegaskan: “Prioritas pertama, kedua dan terakhir kami adalah kepentingan negara Libya”, seperti dilansir Anadolu Ajensi.
Bashir mengatakan ketidakstabilan di Libya juga telah mempengaruhi keamanan nasional Sudan.
“Kami telah terpengaruh langsung oleh keresahan dalam peristiwa gejolak Libya, termasuk harga yang kami bayar untuk memerangi perdagangan manusia, imigrasi ilegal dan kejahatan transit,” kata Bashir.
Dia menegaskan bahwa kehadiran tentara bayaran Sudan di antara para pejuang di Libya merupakan ancaman langsung terhadap keamanan Sudan.
Perdana menteri Libya Fayez Mustafa al-Sarraj, pada bagiannya, mengatakan bahwa mereka sepakat untuk sepenuhnya menormalisasi hubungan diplomatik yang sebelumnya berfluktuasi tersebut,
Al-Sarraj menambahkan bahwa kesepakatan sebelumnya untuk integrasi penuh antara kedua negara akan dilaksanakan.
“Kami akan belajar dari pengalaman dan kesalahan-kesalahan sebelumnya, yang bertujuan untuk membangun hubungan yang kuat” antara kedua negara, kata Sarraj.
“Kami juga telah membicarakan upaya bersama untuk mengamankan perbatasan bersama kami dan dalam hal ini untuk mengaktifkan perjanjian keamanan yang sebelumnya disepakati,” ujar Perdana Menteri Libya Fayez Mustafa al-Sarraj.[IZ]