PALU, (Panjimas.com) – Beberapa organisasi kemasyarakatan yang ada seperti Muhammadiyah, Ikatan Dai Indonesia, pengikut Hizbut Tahrir, Al Khairat, HMI, GP Ansor, dan Wahdah Islamiyah yang ada di Palu menyelenggarakan dialog kebangsaan yang mendiskusikan tentang masa depan dakwah di Indonesia. Acara ini dalam rangka merayakan hari kemerdekaan Indonesia. Hadir sebagai narasumber adalah KH. Cholil Nafis ketua Komisi Dakwah MUI Pusat.
Dalam paparannya, Kiai Cholil Nafis menyampaikan bahwa kerangka berpikir dakwah dan hukum dalam Islam itu berbeda. Kerangka pikir hukum itu harus tegas dan hitam putih sedangkan kerangka pikir dakwah itu harus strategis dan marketing bahkan meliuk-liuk. Sebab dakwah itu artinya mengajak maka harus memahami orang-orang yang akan diajak dan disesuaikan dengan kebutuhannya.
Tak semua kebenaran langsung disampaikan dan dilaksanakan tanpa melihat kondisi dan situasi masyarakat, namu disesuaikan dengan tahapan masyarakat yang akan diberikan dakwah. Bahkan dalam dakwah itu harus mengenal kompromi antar elemen masyarakat demi mencapai kemaslahatan
“Nabi Muhammad SAW saat memimpin negara Madinah melakukan kompromi dengan seluruh elemen masyarakat dan seluruh penganut agama yang plural di Madinah. Hal ini dapat kita lihat dari konstitusi pertama dalam Islam, yaitu Piagam Madinah. Dalam piagam itu Nabi saw tak menyebut negara Islam tapi dalam pasal pertama dari 47 pasal itu menyebut tentang persatuan umat di Madinah tanpa membedakan ras, suku dan agama. Semua penduduk Madinah harus bersatu untuk hidup membangun Madinah,” ujarnya. Rabu, (30/8/2017).
Kontek bernegara yang paling penting adalah menjamin terciptanya keadilan. Oleh sebab itu, Al Mawardi menyebutkan bahwa kekhilafahan nubuwwah (misi kenabian) dalam bernegara akan tercapai manakala dapat menjamin kehidupan beragama dan dapat menciptakan kedamaian dalam bermasyarakat.
Dalam kontek negara Indonesia, konstitusinya telah menganut Piagam Madinah bahwa masyarakat sepakat untuk bersatu dan masing-masing warganya bebas menjalankan ajaran agama dan keyakinannya. Negara Indonesia berdasarkan kesepakatan (mu’ahadah) yang mengikat seluruh warganya. Indonesia bukan negara agama sekaligus bukan negara anti agama. Pancasila sebagai dasar negara merupakan titik temu (kamatun sawa’) antara buah pikiran para pemeluk agama-agama di Indonesia.
Jika ada masyarakat yang hendak mendirikan negara atau mengubah dasar negara menjadi negara tertentu, seperti khilafah, suku atau agama tertentu berarti telah menodai kesepatan dalam bernegara. Maka negara harus hadir untuk menjaga dan melindungi kesepatan bernegara Indonesia, termasuk juga negara hurus menumpas sparatis yang mengganggu keutuhan NKRI,” katanya.
Indonesia yang berdasarkan Pancasila telah menjamin kebebasan menjalankan ajaran agama, termasuk menjalankan syariah. Realitanya, banyak undang-undang yang mengakomodir dari hukum Islam, seperti UU perkawinan, UU perbankan syariah, UU asuransi Syariah, UU jaminan produk halal dan beberapa undang-undang lainnya. Jadi di Indonesia sudah menjalankan ajaran syariah dan menjamin terpeliharanya.
Jadi dakwah itu sifatnya tadarruj (bertahap). Seperti dakwah di Indonesia bertahap dalam menjalankan dakwah dan dibangun atas kesepakatan bersama. Sekarang usia kemederdekaan kita telah berusia 72 tahun maka tak perlu dan tak pantas masih memperdebatkan dasar negara yang telah menjadi kesepatan. Kewajiban para da’i adalah mengisi kemerdekaan ini agar cepat mencapai tujuan bersama dan mampu bersaing dengan negara-negara yang lain.
Problem dakwah yang perlu dibenai di Indonesia adalah perpecahan antara umat Islam yang cenderung terkotak-kotak oleh organisasi dan kelompoknya. Fanatisme antara organisasi Islam sering kali melebihi fanatisme kepada Islam. Tak kalah pentingnya adalah klaim yang merasa dirinya yang paling sahih dalam mengartikan dan menjalankan ajaran Islam, bahkan cenderung menyalahkan kelompok yang lain. Padahal masalahnya hanya perbedaan furi’iyah.
“Problem lainnya dalam dakwah Islam adalah diamnya sebagian orang-orang yang mengerti agama dan masifnya dakwah dari orang-orang yang tak mendalam bahkan mengerti dengan benar tentang agama. Bahkan mereka kadang membawa aliran dan kepercayaan yang sesat. Inilah yang merusak ajaran Islam dan sering menimbulkan salah paham terhadap ajaran Islam,” pungkasnya. [ES]