JAKARTA, (Panjimas.com) – Ribuan orang meninggalkan rumahnya di negara bagian Rakhine, Myanmar karena memburuknya kekerasan dan pembantaian muslim dalam dua hari belakangan ini. Hal ini membuat keperihatinan beberapa pihak dan angkat bicara soal tragedi kemanusiaan ini. Termasuk diantaranya adalah Dahnil Anzar Simanjuntak selaku Ketua Umum PP Pemuda Muhammadiyah.
“Apa yang terjadi di Myanmar bagi saya bukan konflik. Namun, pembantaian. Pembantaian yang sudah lama berlangsung namun dunia seolah tak mampu berbuat apa-apa, namun, sekedar bersikap menunjukkan Keprihatinan dan empati yang menurut Saya basa-basi dalam pergaulan diplomasi perdamaian dunia” ujar Dahnil.
Kekerasan marak dan berlanjut hingga Sabtu (26/8). Penduduk sipil Muslim Rohingya mengungsi dengan melintasi perbatasan ke Bangladesh namun penjaga perbatasan mengusir sebagian dari mereka kembali ke wilayah Myanmar.
“Tahun 2012 yang lalu, saya bersama delegasi Religion for Peace sempat mencoba mediasi dialog dan masuk ke Camp pengungsian etnis Rohingya, namun tidak bisa. Jadi Sudah lama Berbagai mediasi dialog dan lobby terhadap pemerintah Junta Militer sampai dengan pemerintah hasil pemilu saat ini yang dikendalikan oleh Peraih hadiah Nobel Perdamaian Aung San Suu Kyi, dilakukan berbagai komponen, namun selalu gagal dan tidak berbuahkan hasil yang signifikan. Bagi perdamaian dan penghentian kekerasan kepada Etnis Rohingya.” Katanya lagi.
Bahkan misi-misi kemanusiaan seperti bantuan logistik dan kesehatan sulit menembus dan mendapat akses, jadi menurut saya yang paling dibutuhkan saat ini, oleh etnis Rohingya yang sedang dihadapkan dengan fakta pembantaian oleh militer Myanmar bukan bantuan logistik dan kesehataan. Tapi, tekanan Politik dari dunia terhadap pemerintah Myanmar yang sedang melakukan pembantaian.
Rakhine yang merupakan negara bagian termiskin di Myanmar menjadi tempat tinggal dari lebih dari satu juta orang Rohingya yang beragama Islam.
“Jadi, PBB seharusnya menekan Myanmar secara politik, menghukum mereka, karena terang melakukan kejahatan Kemanusiaan secara brutal, dan seolah dunia melegalkan pembantaian tersebut. Nah, Saya berharap pemerintah Indonesia bisa memimpin menyampaikan sikap tegas dan terang dalam bentuk tekanan Politik luar Negeri dengan menghimpun Negara-Negara yang peduli dengan tragedi Kemanusiaan di Myanmar tersebut. Lanjut Dahnil.
Sepertinya pemerintah Indonesia untuk tegas misalnya melakukan peringatan diplomasi yang keras misalnya dengan menarik Dubes RI dari Myanmar, dan meminta Dubes Myanmar di Indonesia untuk meninggalkan Indonesia selama prilaku “legalisasi” pembantaian etnis Rohingya dihentikan dan menemukan jalan damai.
Pemerintah Myanmar mengklaim operasi dilancarkan untuk memburu para militan Rohingya. Sementara itu sekitar 4.000 penduduk Rakhine yang bukan beragama Islam sudah di evakuasi oleh tentara Myanmar agar tidak terperangkap dalam kekerasan.
“Bahkan, pada taraf berikutnya meminta Sidang khusus ASEAN agar mengeluarkan Myanmar dari keanggotaan ASEAN dan menghimpun Negara-Negara yang menjunjung tinggi HAM untuk melakukan embargo terhadap Myanmar. Political diplomacy pressure seperti ini agaknya belum dilakukan oleh dunia, termasuk oleh Indonesia, saya menyarankan Pemerintah Indonesia menginisiasi upaya ini,” pungkasnya. [ES]