YANGON, (Panjimas.com) – Serangkaian serangan terhadap pos-pos perbatasan di Myanmar Barat pada hari Jumat (25/08) pekan lalu dilaporkan merenggut 89 nyawa, demikian menurut laporan pemerintah Yangon.
Serangan dinihari terhadap sedikitnya 30 pos di perbatasan Myanmar-Bangladesh di Distrik Maungdaw bagian Utara tersebut merupakan aksi dari kelompok milisi yang disebut Arakan Rohingya Salvation Army (ARSA).
Seorang tentara, 10 petugas polisi, seorang petugas imigrasi dan 77 gerilyawan tewas dalam serangan tersebut dan 15 orang luka-luka, menurut Kantor Penasihat Negara Aung San Suu Kyi dalam sebuah pernyataan. Dua militan ARSA ditangkap.
Dikabarkan bahwa beberapa jembatan telah hancur dalam serangan tersebut dan tiga kendaraan polisi terkena ranjau darat.
Seorang pejabat negara bagian Rakhine mengatakan kepada Anadolu bahwa kebijakan jam malam telah diberlakukan di Distrik Maungdaw, menggantikan jam malam parsial yang telah berlangsung bertahun-tahun lamanya.
Rezim Myanmar mengatakan bahwa para gerilyawan ARSA juga mencoba masuk ke pangkalan Batalyon Infanteri 552 sekitar pukul 3.00 dinihari waktu setempat (20.30GMT).
“Kami telah melakukan tindakan-tindalam defensif terhadap pasukan perusak Burma di lebih dari 25 tempat yang berbeda di seluruh wilayah,” ujar kelompok tersebut dalam sebuah pernyataan yang dipublikasikan secara online di kalangan aktivis Tohingya.
Dsitrik Maungdaw terletak di sepanjang Sungai Naf yang memisahkan Myanmar dan Bangladesh di Rakhine Utara.
“Realitas Direkayasa”
ARSA mengatakan bahwa serangan tersebut merupakan aksi balasan atas operasi keji penggerebekan, pembunuhan dan penjarahan serta pembakaran rumah dan pemerkosaan oleh tentara-tentara Myanmar yang dikerahkan di wilayah tersebut setelah kematian 7 penduduk desa awal bulan ini.
“Ketika kekejaman mereka terhadap orang-orang yang tidak bersalah telah mencapai batas toleransi kami dan mereka akan melancarkan serangan terhadap kami, kami akhirnya harus melangkah untuk membela orang-orang yang tidak berdaya dan diri kami sendiri,” pungkas Arakan Rohingya Salvation Army (ARSA) .
Serangan tersebut terjadi hanya beberapa jam setelah Komisi Penasehat yang dipimpin oleh mantan Sekjen PBB Kofi Annan mendesak pemerintah Myanmar untuk menghentikan pembatasan terhadap Muslim Rohingya di daerah tersebut.
Setelah penyelidikan sepanjang tahun mengenai situasi di Rakhine, Komisi Penasihat yang dipimpin Kofi Annan menyerukan “tindakan mendesak dan berkelanjutan di sejumlah bidang untuk mencegah kekerasan, menjaga perdamaian, menumbuhkan rekonsiliasi dan menawarkan harapan kepada penduduk yang tertindas.”
Sebuah operasi keamanan yang diluncurkan pada bulan Oktober tahun lalu di Maungdaw, wilayah dimana pnduduk Rohingya menjadi mayoritas. Tak lama kemudian, Operasi militer di Maungdaw menyebabkan PBB merilis laporan mengenai pelanggaran-pelangggaran hak asasi manusia oleh pasukan keamanan Myanmar yang mengindikasikan kejahatan terhadap kemanusiaan.
PBB mendokumentasikan pemerkosaan kelompok massal, pembunuhan, termasuk bayi dan anak-anak, pemukulan dan penghilangan brutal. Perwakilan Rohingya mengatakan sekitar 400 penduduk tewas dalam operasi militer tersebut.
Hla Kyaw, Ketua Dewan Rohingya Eropa, mengatakan bahwa militer telah merekayasa kenyataan yang saat ini terjadi di negara bagian Rakhine.”
Kyaw menambahkan: “Menurut informasi yang kami terima, tadi malam pasukan keamanan memprovokasi anggota-anggota ARSA dan orang-orang tercinta mereka sampai pada tahap di mana mereka bereaksi untuk menyelamatkan nyawa mereka dan untuk membela orang-orang yang mereka cintai dari serangan militer.
“Tentara memanfaatkan kesempatan itu untuk membenarkan pembunuhan massal, pemerkosaan dan penangkapan.”
Tujuan akhir adalah untuk mengacaukan negara, untuk mencegah hadirnya tim misi pencarian fakta PBB, bukan untuk melaksanakan rekomendasi Komisi Penasihat Rakhine dan yang terpenting, untuk lebih meminggirkan Muslim Rohingya”, pungkasnya.[IZ]