YANGON, (Panjimas.com) – Rezim Myanmar melaporkan setidaknya 12 orang, termasuk lima petugas polisi, tewas pada hari Jumat (25/08) dalam beberapa serangan terhadap pos-pos penjagaan perbatasan di sepanjang perbatasan Barat Myanmar dengan Bangladesh.
Serangan tersebut diklaim rezim dilakukan oleh militan Rohingya di 24 kantor polisi dan pos-pos terdepan di Distrik Maungdaw di bagian Utara negara bagian Rakhine, menurut sebuah siaran pers dari Kantor Penasihat Negara Bagian Aung San Suu Kyi pada hari Jumat (25/08), dikutip dari Anadolu.
Siaran pers kantor Suu Kyi ini mengkonfirmasi bahwa lima petugas polisi tewas dalam serangan tersebut dan dua senjata dicuri oleh penyerang. Para militan juga kabarnya mencoba masuk ke markas Batalion Infanteri 552 sekitar pukul 03:00 dinihari.
Arakan Rohingya Salvation Army (ARSA), yang sebelumnya merupakan kelompok milisi yang melakukan serangan serupa di wilayah tersebut Oktober tahun lalu, juga mengakui bertanggung jawab atas serangan pada hari Jumat (25/08).
“Kami telah melakukan tindakan-tindalam defensif terhadap pasukan perusak Burma di lebih dari 25 tempat yang berbeda di seluruh wilayah,” ujar kelompok tersebut dalam sebuah pernyataan yang dipublikasikan secara online di kalangan aktivis Tohingya.
ARSA mengatakan bahwa serangan tersebut merupakan aksi balasan atas operasi keji penggerebekan, pembunuhan dan penjarahan serta pembakaran rumah dan pemerkosaan oleh tentara-tentara Myanmar yang dikerahkan di wilayah tersebut setelah kematian 7 penduduk desa awal bulan ini.
“Ketika kekejaman mereka terhadap orang-orang yang tidak bersalah telah mencapai batas toleransi kami dan mereka akan melancarkan serangan terhadap kami, kami akhirnya harus melangkah untuk membela orang-orang yang tidak berdaya dan diri kami sendiri,” pungkas Arakan Rohingya Salvation Army (ARSA) .
Serangan tersebut terjadi hanya beberapa jam setelah Komisi Penasehat yang dipimpin oleh mantan Sekjen PBB Kofi Annan mendesak pemerintah Myanmar untuk menghentikan pembatasan terhadap Muslim Rohingya di daerah tersebut.
Setelah penyelidikan sepanjang tahun mengenai situasi di Rakhine, Komisi Penasihat yang dipimpin Kofi Annan menyerukan “tindakan mendesak dan berkelanjutan di sejumlah bidang untuk mencegah kekerasan, menjaga perdamaian, menumbuhkan rekonsiliasi dan menawarkan harapan kepada penduduk yang tertindas.”
Penindasan Rohingya Terstruktur dan Sistematis
Pelapor khusus HAM PBB di Myanmar, Yanghee Lee, pada Jumat (20/01/2017) mengatakan bahwa pemberontakan bersenjata di negara bagian Rakhine disebabkan karena diskriminasi selama beberapa dekade lamanya yang dilembagakan, tersturktur dan sistematis terhadap Muslim Rohingya.
Undang-Undang tahun 1982 menolak hak-hak etnis Rohingya – banyak di antara mereka telah tinggal di Myanmar selama beberapa generasi, namun hak kewarganegaraan mereka tak diakui, status mereka stateless [tanpa negara]. Situasi ini juga menghilangkan kebebasan Rohingya bergerak, dari akses pendidikan hingga layanan kesehatan yang sangat minim, bahkan otoritas Myanmar terus melakukan penyitaan sewenang-wenang terhadap properti milik mereka.
Diperkirakan 1,1 juta Muslim Rohingya tinggal di Rakhine, di mana mereka dianiaya, dan menjadi minoritas etnis tanpa negara. Pemerintah Myanmar secara resmi tidak mengakui Rohingya, menyebut mereka imigran Bengali sebagai imigran ilegal, meskipun ketika dilacak akar sejarahnya, etnis Rohingya telah lama hidup dan tinggal di Myanmar selama beberapa generasi.
Minoritas Etnis Paling Tertindas
John McKissick, seorang pejabat Badan pengungsi PBB yang berbasis di Bangladesh, mengatakan etnis Rohingya adalah “minoritas etnis yang paling tertindas di dunia.”
Bahkan sebuah rencana Kepolisian akhir tahun lalu mengumumkan untuk mempersenjatai dan melatih kekuatan sipil para warga non-Muslim dari Arakan, dan hal ini cenderung meningkatkan ketegangan sektarian.
Kekerasan sangat mempengaruhi Muslim Rohingya. Sekitar 100.000 masih hidup dalam keterbatasan di tempat-tempat kumuh di mana mereka dilarang pergerakannya, dibatasi aksesnya terhadap pendidikan dan kesehatan. Puluhan ribu Rohingya telah melarikan diri dengan perahu, banyak dari mereka meregang nyawa di lautan yang berbahaya.
Muslim Rohingya telah melarikan diri dari Myanmar sejak pertengahan 2012 setelah kekerasan komunal pecah di Rakhine antara etnis Rakhine Buddha dan Muslim Rohingya, menewaskan lebih dari 100 orang dan memaksa sekitar 140.000 Muslim Rohingya mengungsi.
Menurut perhitungan lainnya, Kekerasan tahun 2012 tersebut membuat sekitar 57 Muslim dan 31 Buddha tewas, sekitar 100.000 korban lainnya mengungsi di kamp-kamp dan lebih dari 2.500 rumah dihancurkan -. yang sebagian besar milik Muslim Rohingya
Laporan-laporan penargetan disengaja dan pembunuhan tanpa pandang bulu serta penangkapan warga sipil Rohingya, penghancuran rumah-rumah dan bangunan keagamaan, juga pelecehan sesual pada perempuan Rohingya oleh pasukan militer harus diselidiki sepenuhnya oleh masyarakat internasional, karena tindakan-tindakan itu sama saja dengan kejahatan terhadap kemanusiaan.
Sementara itu menurut UN’s Office for the Coordination of Humanitarian Affairs [UNCHA], saat ini terdapat lebih dari 87.000 Muslim Rohingya terpaksa mengungsi, sebagian tidak memiliki kewarganegaaraan resmi.
Di antara mereka, setidaknya 21.000 orang diperkirakan mengungsi di daerah dekat perbatasan barat Myanmar dengan Bangladesh.
Kekerasan di negara bagian Rakhine menuai kecaman keras internasional terhadap pemenang Hadiah Nobel Perdamaian Aung San Suu Kyi, dirinya dianggap kurang proaktif dalam membantu anggota minoritas Muslim Rohingya, yang ditolak kewarganegaraannya di Myanmar yang didominasi umat Buddha itu.
Pemimpin de facto pemerintah Myanmar, Aung San Suu Kyi, telah membuat beberapa komentar publik tentang krisis Rohingya ini. Sementara pendukung hak asasi manusia internasional terus mengkritik keras diamnya Suu Kyi. Para analis politik mengatakan masalah ini menunjukkan terbatasnya kekuatan Suu Kyi dan Partai NLD dalam peemrintahan, pihak militer Myanmar masih mengontrol Kementerian-Kemeneterian kunci seperti Kementrian Dalam Negeri, Kementerian Urusan Perbatasan dan Kementerian Pertahanan.
Partai NLD, pimpinan Suu Kyi, mengambil alih kekuasaan pada bulan April 2016, setelah berhasil memenangkan pemilihan umum tahun lalu, kepemimpinan NLD ini membawa Myanmar mengakhiri puluhan tahun kekuasaan rezim militer. Peristiwa baru-baru ini di negara bagian Arakan, serta konflik baru di bagian timur negara itu, antara tentara Myanmar dan kelompok pemberontak etnis, telah menyebabkan banyak pertanyaan, siapakah yang sebenarnya memegang kendali pemerintahan Myanmar? [IZ]