BOGOR (Panjimas.com) – Upaya membangun kesehatan salahsatunya adalah dengan membuat pertahanan tubuh atau imunisasi. Imunisasi yang saat ini dikenal adalah dengan cara memberi vaksin kepada tubuh yang nanti akan memberi kekebalan pada tubuh terhadap penyakit tertentu, sesuai vaksin yang diberikan.
Pemberian vaksin sejak dini merupakan bagian dari program pemerintah yang sudah berlangsung sejak lama. Namun dalam kurun waktu terakhir program ini mendapat pertentangan dari kelompok orang yang disebut anti vaksin. Beberapa alasan yang melandasi penolakan vaksin adalah kepastian halal dan bahan baku vaksin yang diduga mencederai kesehatan pasca vaksinasi.
Direktur Surveilans dan Karantina Kemenkes RI, dr. Elizabeth Jane Soepardi, MPH, Dsc, menjamin kalau vaksin campak rubella atau measles rubella (MR) 100 persen halal.
“Keduanya halal 100%. Tidak ada babinya. Vaksin campak itu ditumbuhkan di janin ayam. Sedangkan vaksin rubella dikembangbiakkan di sel punca atau stem cell manusia. Jadi, tidak ada hubungannya dengan babi,” jelas Jane di Gedung Kementerian Kesehatan (Kemenkes), Jakarta. (SuaraHarian, 1 Agustus 2017).
Namun pernyataan ini, tidak cukup bagi sebagian masyarakat, terutama praktisi dan pengamat Halal. Dalam UU JPH No 33 tahun 2014 disebutkan di Bab I pasal 1:
“Produk adalah barang dan/atau jasa yang terkait dengan makanan, minuman, obat, kosmetik, produk kimiawi, produk biologi, produk rekayasa genetic, serta barang gunaan yang dipakai, digunakan, atau dimanfaatkan oleh masyarakat”.
Pada ayat 2 dijelaskan pengertian “Produk halal adalah produk yang telah dinyatakan halal sesuai dengan syariat Islam”.
Pada ayat 5, diperjelas lagi “Jaminan produk halal yang selanjutnya disingkat JPH adalah kepastian hukum terhadap kehalalan suatu Produk yang dibuktikan dengan Sertifikat Halal”.
Pada ayat 10 disebutkan, “Sertifikat Halal adalah pengakuan kehalalan suatu Produk yang dikeluarkan oleh BPJPH berdasarkan fatwa halal tertulis yang dikeluarkan MUI”.
Ditekankan pada pasal 4, “Produk yang masuk, beredar, dan diperdagangkan di wilayah Indonesia wajib bersertifikat halal”. Dan domain penentuan Halal adalah Majelis Ulama Indonesia sebagaimana disebutkan dalam Pasal 33 ayat 1, “Penetapan kehalalan Produk dilakukan oleh MUI. Dan itu dalam sidang Fatwa”.
“Maka tidak heran, klaim halal dari Kemenkes tanpa disertai bukti berupa sertifikat halal menjadikan pertanyaan, mengapa pihak Kemenkes tidak mentaati UU JPH yang sudahketok palu di tahun 2014,” kata Pengamat dan Praktisi Halal, Founder & CEO Halal Corner, Aisha Maharani.
Pertanyaan sederhana yang dilempar dari masyarakat untuk Kemenkes, kalau halal, tentu semua bahan baku, proses dan lain-lainya dijamin halal, kenapa belum juga bersertifikat halal?
“Selain itu ada temuan mengenai klaim berupa broadcast bahwa vaksin MR yang beredar sebagai program pemerintah adalah produk Biofarma dan sudah mendapatkan sertifikat halal MUI. Kenyataannya vaksin tersebut produksi dari India dan belum mendapatkan sertifikat halal MUI. Ada apa ini?” tanya Aisha.
Dikatakan Aisha, jika alasan darurat sehingga tidak melakukan proses sertifikasi halal, faktanya adalah sejak tahun 2005, pihak Majelis Ulama Indonesia telah meminta pada pihak Kemenkes untuk mensertifikasi produk obat-obatan termasuk di dalamnya adalah vaksin.
Dengan kurun waktu 12 tahun apa masih bisa disebut darurat. Sedangkan pengertian darurat yang disebutkan dalam Al Quran Al An’aam: 19, menurut imam Malik adalah yang tidak dibekal dan digunakan pada saat itu (kejadian darurat berlangsung).
“Jika vaksinasi adalah program pemerintah yang dimana masyarakat harus mentaatinya, maka selayaknya Kemenkes dan pihak terkait juga memberi teladan yang sama, mengakui vaksin MR Halal, maka harus mau mentaati UU JPH yang telah berlaku,” tegas Aisha.
Lebih lanjut Aisha mengatakan, berbagai teori fiqih dan kesehatan yang dijabarkan demi mengamini klaim Kemenkes tentu saat ini tidak bisa dipaksakan, rakyat menuntut kejujuran dari pihak Kemenkes dan Biofarma. UU JPH telah diberlakukan, saatnya harus mulai mentaati tanpa banyak dalih lagi. (desastian)