JAKARTA, (Panjimas.com) – Ketua Komisi I DPR RI, Abdul Kharis Almasyhari mendesak PBB untuk segera melakukan investigasi terhadap pemerintah Myanmar atas pembantaian yang dilakukan secara sistematis terhadap muslim Rohingya. Sebab beberapa waktu belakangan tensi pembantaian yang diterima Muslim Rohingya meningkat. Akibatnya ribuan warga Rohingya mengungsi ke Bangladesh.
“Harusnya PBB segera melakukan investigasi. Sebab respon negara- negara tetangga, termasuk negara-negara ASEAN maupun negara-negara mayoritas Muslim, seperti sedang melakukan ‘pingpong maritim’, dengan tujuan mencegah para pengungsi mendarat dan mendorongnya ke negara lain,” katanya melalui siaran pers yang diterima Panjimas, Senin (28/08).
Pasalnya, pembantaian ini merupakan aib bagi para tokoh dan negara-negara yang gemar berceramah tentang hak asasi manusia. Menguji apakah kita sungguh-sungguh memperjuangkan kesetaraan dan persaudaraan manusia.
“Kita mengapresiasi para nelayan Aceh yang kerap memandu para pengungsi ke pantai. Begitupula lembaga-lembaga kemanusiaan yang merespon peristiwa ini dengan cepat. Sebagian bahkan sudah terlibat dalam membantu pengungsi Rohingya jauh sebelum peristiwa terakhir ini,” ujarnya.
Politisi F-PKS itu menjelaskan, para “manusia perahu” Rohingya ini bukan sesuatu yang tiba-tiba. Gelombang eksodus yang terbaru dimulai sejak Mei 2012, sejak meletusnya konflik di wilayah Rakhine atau Arakan yang menjadikan kelompok minoritas Rohingya sebagai sasaran kekerasan. Menurut laporan dari Human Rights Watch, aparat pemerintah Myanmar yang seharusnya memulihkan keadaan justru ikut terlibat dalam konflik tersebut (Human Rights Watch, 2012).
Bahkan, persekusi terhadap orang-orang Rohingya di Myanmar telah dimulai sejak lama. Tahun 1950-an sampai 1960-an, etnis Rohingya diakui sebagai bagian dari Myanmar. Pada tahun 1970-an pemerintah melakukan berbagai operasi militer dan berbagai mekanisme diskriminatif untuk membatasi mobilitas dan pertumbuhan orang-orang Rohingya. Akan tetapi, pada tahun 1982 rezim militer mengeluarkan orang-orang Rohingya dari kategori warga negara. Sejak saat itu, represi yang dilakukan oleh negara semakin keras.
“Hanya dengan melihat keberanian mereka mengambil risiko untuk terombang ambing tanpa nasib yang jelas di laut, kita seharusnya dapat memahami betapa mengerikannya penindasan yang mereka alami di Myanmar,” pungkasnya.
Gelombang kekerasan terhadap orang-orang Rohingya yang terakhir ini telah memperlihatkan keterlibatan komunitas Buddha di Rakhine. Konflik yang sebelum ini bersifat ‘vertikal’ antara negara atau rezim militer versus masyarakat berubah menjadi konflik ‘horizontal’ antara masyarakat Muslim Rohingya versus masyarakat Buddha Rakhine yang lebih kompleks. [TM]