JAKARTA, (Panjimas.com) – Jurnalis Islam Bersatu (JITU) menerbitkan buku keduanya berjudul Mengetuk Pintu Langit, setelah sukses dengan buku pertama tentang krisis Suriah. Mengetuk Pintu Langit adalah mengabadikan kisah-kisah masyarakat Muslim yang ambil bagian dalam Aksi Bela Islam, yang lebih dikenal dengan Aksi 212.
Ketua Umum JITU, Agus Abdullah menyatakan, buku ini merupakan hasil kerja siang-malam para anggota JITU yang tidak letih-letihnya meliput peristiwa sebelum aksi 2 Desember 2016 dan semua aksi lanjutannya.
“Tidur yang biasanya 6-8 jam, mesti diperas lagi menjadi 3-4 jam per hari. Semua berpikir bagaimana merekam peristiwa sejarah ini dengan apik dan menarik, dengan sentuhan yang bisa menjadi kenangan dalam masa yang panjang,” katanya melalui siaran pers yang diterima Panjimas.com, Sabtu (26/08).
Pasalnya Aksi Bela Islam yang diinisiasi Gerakan Nasional Pengawal Fatwa MUI (GNPF MUI) adalah episode spektakuler tentang kisah solidaritas umat Islam dalam membela agamanya dari penistaan. Jutaan umat Islam Indonesia berkumpul di Jakarta untuk melakukan protes atas penistaan terhadap Kitab Suci Al-Qur’an. Kisah mereka dari berbagai daerah, bahkan luar negeri dikemas deskriptif naratif dalam buku tersebut.
Agus menjelaskan, bahkan dalam aksi 212, ada teman-teman yang baru tidur jam dua pagi, harus terjaga lagi jam empat subuh untuk melakukan liputan di Masjid Istiqlal, salah satu simpul berkumpulnya massa. Selesai aksi, ia tidak bisa tidur, dan harus kembali menulis.
“Ini harapan saya sejak lama! Alhamdulillah, setelah melalui proses panjang, buku Mengetuk Pintu Langit akhirnya terbit,” pungkasnya.
Aksi 212 adalah momen langka dan harus menjadi catatan sejarah umat Islam. Momen itu tidak boleh dilupakan begitu saja. Untuk itu, JITU ikut ambil bagian dalam upaya itu dengan mengabadikan sebagian kisah dari peristiwa besar itu.
Menurut catatannya, setelah buku pertama JITU, banyak sudah liputan teman-teman anggota JITU yang sangat layak untuk dibukukan, namun Allah belum menakdirkan untuk menjadi produk yang dicetak. “Ada saja kendala yang menyebabkan liputan-liputan khusus teman-teman tidak dibukukan,” ungkapnya.
Agus menambahkan, menulis adalah warisan leluhur umat Islam. Ibnu Abi Hatim, contohnya. Ia dikenal sebagai ulama kritikus hadits yang rajin menulis. Sebagian besar umurnya dihabiskan untuk berkelana dari satu negeri ke negeri lainnya untuk meliput dan mencatatnya, hingga sekarang menjadi warisan emas bagi umat Islam.
Dan yang perlu digarisbawahi, Ibnu Abi Hatim telah memulai “turun ke lapangan” sebelum baligh. Beliau juga pernah tidak mendapatkan makanan yang layak selama 7 bulan di Mesir dalam rangka liputan. Itu yang membuat Ibnu Abi Hatim hidup sampai sekarang. Untuk itu, “Mari kita hidupkan kembali kebiasaan para leluhur umat Islam,” katanya mengajak. [TM]