LONDON, (Panjimas.com) – Kejahatan kebencian di Inggris melalui media sosial saat ini akan diperlakukan sama dengan pelanggaran yang dilakukan secara offline atau dalam interaksi sosial masyarakat secara langsung, sesuai dengan pedoman yang ditetapkan oleh Crown Prosecution Service (CPS).
Panduan yang direvisi tersebut akan mencakup semua untaian kejahatan kebencian online dan hal ini muncul sebagai tanggapan atas meningkatnya volume kejahatan kebencian yang dilaporkan ke Kepolisian Inggris.
Kebijakan baru ini diterapkan setelah berkonsultasi dengan berbagai kelompok dan elemen masyarakat terutama mengenai perubahan jenis pelanggaran ini.
Pada 2015-2016, CPS menyelesaikan 15.442 tuntutan kejahatan kebencian, jumlah tertinggi yang tercatat sampai saat ini. Tingkat tuntutan di semua bentuk kejahatan kebencian meningkat dari 82,9 persen pada tahun 2014-2015 menjadi 83,2 persen pada tahun 2015-2016, menurut statistik CPS, seperti dilansir Arab News.
“Kejahatan benci memiliki efek korosif terhadap masyarakat kita, dan karena itulah merupakan area prioritas bagi CPS. Ini dapat mempengaruhi seluruh masyarakat, hingga memaksa orang mengubah cara hidup mereka dan hidup penuh ketakutan, ” kata Alison Saunders, Direktur Penuntutan Publik CPS.
“Dokumen-dokumen ini mempertimbangkan meluasnya kejahatan kebencian saat ini dan konteks penghinaannya agar dapat memberikan kesempatan terbaik bagi jaksa untuk mencapai keadilan bagi korban. Mereka juga membiarkan korban dan saksi mengetahui apa yang harus mereka harapkan dari kita. ”
Bersamaan dengan peluncuran panduan baru ini, CPS telah meluncurkan kampanye media sosial #HateCrimeMatters – sebagai bagian dari upaya untuk mendorong orang melaporkan kejadian kejahatan kebencian.
Kejahatan kebencian didefinisikan sebagai pelanggaran yang dimotivasi oleh permusuhan, atau yang menunjukkan permusuhan, terhadap kecacatan, ras, agama, orientasi seksual atau identitas gender korban.[IZ]