JAKARTA, (Panjimas.com) – Mahkamah konstitusi gelar sidang perkara Pengujian Kitab Undang-Undang Hukum Pidana pada Selasa (22/8) pukul 11.00 WIB dengan agenda Mendengarkan Keterangan Ahli Pemohon dengan nomor perkara 28/PUU-XV/2017.
Perkara teregistrasi tersebut diajukan oleh Hans Wilson Wader, Meki Elosak, Jemi Yermias Kapanai alias Jimi Sembay, Pastor John Jonga, Pr., Gereja Kemah Injil (KINGMI) di Tanah Papua yang diwakili Pdt. Dr. Benny Giay, dan Yayasan Satu Keadilan yang diwakili Sugeng Teguh Santoso selaku Ketua. Materi yang diujikan, yaitu Pasal 104, Pasal 106, Pasal 107, Pasal 108, dan Pasal 110 KUHP yang disebut para Pemohon sebagai pasal-pasal makar.
Andi Muttaqien selaku kuasa hukum menyampaikan panas pada sidang pertama, Selasa (13/6) Hans Wilson Wader, Meki Elosak, Jemi Yermias merupakan orang-orang yang pernah dipidana dengan pidana yang berkaitan dengan pasal-pasal makar. Para Pemohon merasa ketentuan yang mengatur soal makar tersebut digunakan pemerintah untuk mengkriminalisasi Pemohon.
Seharusnya, aspirasi warga negara dalam menyuarakan kritik terhadap pemerintah dapat dilakukan dengan cara aksi unjuk rasa atau demonstrasi. Namun, jaminan kebebasan untuk menyampaikan kritikan terhadap pemerintah dapat terancam dengan adanya rumusan pasal a quo yang multitafsir dan cenderung bisa digunakan oleh penguasa untuk membungkam masyarakat yang mengkritiknya. Pemohon menilai ketidakkonsistenan dalam penerapan pasal-pasal tersebut membuktikan watak karet atau fleksibilitas dari pasal-pasal a quo yang memunculkan situasi ketidakpastian hukum.
Pada sidang Senin (24/7) lalu antropologi Universitas Negeri Papua I Ngurah Suryawan selaku Ahli Pemohon menyebut pemerintah gagal dalam menangkap apa yang terjadi di Papua. Menurut Suryawan, hal tersebut berkaitan dengan ekspresi kebudayaan yang dijalankan masyarakat di sana, namun dikenakan pasal makar.
Sementara itu, Dosen Pascasarjana Program Ilmu Hukum Universitas Krisnadwipayana Made Darma Weda selaku Ahli Pemohon lainnya mempermasalahkan terkait definisi makar yang belum ada di KUHP. Menurutnya, makar harus didefinisikan dalam bentuk perilaku yang lebih jelas supaya dapat dibedakan tindak pidana makar dengan tindak pidana lainnya.
Di sisi lain, anggota Komisi III DPR Fraksi Golkar Adies Kadir menyebut upaya menggulingkan pemerintah tak selalu diwujudkan dalam perbuatan mengangkat senjata atau tindak kekerasan. Penggulingan tersebut dapat juga dilakukan melalui hasutan. Sehingga Adies menyatakan bahwa ketentuan tersebut merupakan langkah preventif untuk melindungi negara, makar dalam konteks tersebut dimaknai secara luas.
Selanjutnya pada sidang Selasa 18 lalu guru besar hukum pidana Universitas Trisakti Andi Hamzah mengatakan Indonesia salah dalam mengartikan aanslag sebagai makar. Kata aanslag yang berasal dari bahasa Belanda apabila diterjemahkan ke bahasa Inggris artinya Striking atau penyerangan. Berdasarkan hal tersebut, menurut Andi, terdapat konsepsi salah berpikir dengan langsung dimaknai sebagai makar. Padahal, di negara lain tidak ada kata makar untuk mengatur perlindungan pada keamanan negara. Menurut Andi, aanslag dimaknai sebagai makar membawa konsekuensi negatif yang lebih banyak. [DP]