JAKARTA (Panjimas.com) – Menyambut HUT Kemerdekaan Republik Indonesia ke-72, Kamis (17 Agustus 2017), Komunitas Baca Betawi melakukan napak tilas untuk menelisik kiprah perjuangan kaum Betawi pada masa revolusi kemerdekaan. Napak tilas bertajuk ‘Jejak Revolusi di Tanah Betawi’ ini dimulai dari Senen, Kalibaru, Tanah Tinggi, Kramat Sentiong, Kampung Rawa hingga Gang Kelor.
“Melalui napak tilas, diharapkan, generasi muda dapat mengetahui bahwa dahulu pernah terjadi pertempuran hebat di kawasan Senen, Kalibaru, Tanah Tinggi, Kramat Sentiong, Kampung Rawa hingga Gang Kelor (Jatinegara). Juga diharapkan dapat menghargai jasa dan pengorbanan para pejuang revolusi, khususnya kaum Betawi,” kata Pegiat Komunitas Baca Betawi, Rahmat Sadeli.
Dikatakan Rahmat Sadeli, yang juga seorang jurnalis, napak tilas ini merujuk pada dua buku berjudul “Sejarah
Perjuangan Rakyat Jakarta, Tangerang dan Bekasi” dalam Menegakkan Kemerdekaan RI (Disusun oleh Dinas Sejarah Militer Kodam V/Jaya,” dan “Kisah-kisah Jakarta Setelah Proklamasi” (Rosihan Anwar, Pustaka Jaya).
Sejak pukul 08.00 WIB, tim kecil komunitas Baca Betawi yang terdiri dari empat orang (Adhes Satria, Rahmat Sadeli, Ghoess Maghrib, dan Tini Mancini) berkumpul di depan Transmart Cilandak, Jakarta Selatan, untuk sarapan Nasi Uduk lebih dulu. Setelah itu bergerak menuju Senen, melalui jalur Mampang, Kuningan, dan Gondangdia. Napak tilas perdana ini didukung oleh majalahbetawi.com, orangbetawi.com dan Pustaka Betawi.
“Setiba di Tugu Kesetiakawanan Sosial di GOR Senen, kami mengawali napak tilas ini mengibarkan bendera Merah Putih, berdoa untuk para pahlawan yang telah gugur di medan perang. Sambil kami mendokumentasikan napak tilas ini seperti yang telah direncanakan,” kata Rahmat Sadeli, founder majalahbetawi.com.
Dari Senen, tim Baca Betawi bergerak menuju Kalibaru, kemudian lanjut ke Tanah Tinggi. Setelah itu bergeser ke Bioskop Grand disertai pembacaan Puisi karya Chairil Anwar. Puisi itu dibacakan oleh host Baca Betawi Rahmat Sadeli. Dari Grand, tim bergerak menuju Kramat Sentiong, lalu Kampung Rawa.
“Saat menelusuri kawasan Kampung Rawa yang dahulunya menjadi Dapur Umum para pejuang, salah seorang tim kami terpisah, dikarenakan hambatan komunikasi. Terlebih, pada saat peringatan 17 Agustus, setiap gang di kampung-kampung, diblokir, sehingga kami kesulitan untuk menembus tempat yang dituju. Terpaksa, harus mencari jalan tikus. Nah, disaat itulah kami terpisah,” ungkap Rahmat seru.
Akhirnya, tim Baca Betawi tersisa tiga orang. Namun, semangat 45 tetap bergelora. Penelusuran yang terakhir adalah bergerak menuju arah Jatinegara (Gang Kelor) melalui Percetakan Negara.
“Setiba di Gang Kelor, kami berdiri diri tepat di Tugu Perjoangan yang diresmikan oleh Gubernur Khusus DKI Jakarta Tjokropranolo, 7 Juni 1982. Inilah puncak napak tilas kami. Semoga napak tilas ini menjadi inspirasi bagi generasi muda untuk menghargai jasa pahlawannya,” ungkap Rahmat.
Pertempuran di Kramat
Menurut buku “Sejarah Perjuangan Rakyat Jakarta, Tangerang dan Bekasi” dalam Menegakkan Kemerdekaan RI (Disusun oleh Dinas Sejarah Militer Kodam V/Jaya, ditulis sebagai berikut:
Dalam susunan komando BKR-Jakarta pada tahun 1945, daerah Kramat termasuk daerah BKR-Jakarta Pusat yang dipimpin oleh Sadikin (Brigjen bekas Panglima Divisi Siliwangi).
Selain anggota-anggota BKR yang terdapat disektor Kramat ini, terdapat juga Pemuda-pemuda Pejuang dari berbagai Kesatuan seperti halnya Pasukan Pelopor, API, Angkatan Pemuda Indonesia Sulawesi (APIS), Hizbullah dan lain-lain.
Memang kedalam mereka mempunyai pasukan-pasukan sendiri, tetapi dalam menghadapi Jepang, Inggris dan Belanda,’mereka merupakan satu kekuatan yang kuat yang sewaktu-Waktu secara serentak dan bahu-membahu melakukan perlawanan atau melakukan penyerangan terhadap musuh.
Di daerah Kramat ini Jepang sulit sekali untuk beraksi karena ketatnya dan kerasnya penjagaan Pemuda-Pemuda Pejuang, memang sehari dua hari setelah Proklamasi Kemerdekaan dikumandangkan, serdadu-serdadu Jepang dengan persenjataan perang yang siap tempur banyak hilir-mudik didaerah ini.
Tetapi’ setelah mereka mengetahui kekuatan-kekuatan Pemuda Pejuang dan diantara serdadu-serdadu Jepang tersebut banyak yang terculik dan dilucuti senjatanya, ‘maka kegiatan serdadu-serdadu Jepang itu kemudian hanya terbatas disekitar tangsinya saja yang diperkuat penjagaannya.
Pada tanggal 2 Oktober 1945, malam hari daerah Kramat dan beberapa daerah lainnya di Jakarta Pusat diganggu ketenteramannya oleh gerombolan serdadu-serdadu Belanda Interniran dengan Jepang.
Secara serentak dan bahu-membahu kekuatan Pemuda-pemuda Pejuang dapat mengurung mereka dan setelah dilakukan penggerebegan senjata-senjata mereka dapat dirampas oleh Pemuda-pemuda Pejuang.
Dalam pertempuran sengit melawan serdadu-serdadu NICA di daerah Kramat (Gang Kernolong dan Gang Listrik), Pemuda-pemuda Pejuang dapat memukul mundur serdadu-serdadu Nica rsebut dengan banyak senjatanya yang dapat dirampas.
Pertempuran selanjutnya melawan serdadu-serdadu NICA Pada tanggal 18 Nopember 1945, sehari penuh terjadi tembak-menembak sehingga suasana menjadi sepi sekali, tak ada penduduk yang berani keluar kecuali mereka yang sedang bertempur.
Pada malam harinya, Gedung Fafa yang adadi Jalan Raden Saleh diserang para Pemuda dan sebagai dimuka dijalankan dalam penyerangan ke gedung ini seorang Kolonel dan seorang Mayor Belanda tewas terkena granat yang dilemparkan seorang Pemuda Pejuang.
Setelah kejadian tersebut, serdadu-serdadu NICA Yang di perkuat oleh serdadu-serdadu Inggris sering melancarkan serangan ke daerah Kramat. Pertempuran hebat berlangsung pada tanggal 28 dan 29 Nopember 1945, musuh mengerahkan kekuatan yang besar dan dibantu oleh Pesawat-pesawat terbang.
Pada tanggal 29 jam 12.00–18.00 Kramat Pulo dihujani peluru mortar, da mengakibatkan korban penduduk , 24 orang meninggal. Penduduk banyak yang mengungsi dan dalam kesempatan itu serdadu-serdadu NICA melakukan perampasan harta benda rakyat.
Karena para Pemuda Pejuang dengan gigih tetap mempertahankan daerah Kramat maka serdadu-serdadu NICA terutama dari Batalyon X terus melancarkan“serangan-serangannya. Pada tanggal 6 Desember 1945 tembak-menembak yang seru terjadi lagi.
Senjata-senjata mutakhir dan mortir dan bom-bom pembakar yang dijatuhkan dari pesawat-pesawat terbang digunakan mereka, walau demikian semangat para Pemuda Pejuang tetap tldak tergoyahkan, bahkan mereka menjadi lebih nekad dalam bergaul dengan maut untuk mempertahankan daerah Kramat.
Pada tanggal 8 Desember 1945, serdadu-serdadu Batalyon X dengan diperkuat kendaraanlkendaraan berlapis baja, tank dan sebagainya mengepung daerah Kramat, kali inipun tanktank tersebut tidak mampu melemahkan semangat juang para Pemuda, sehingga serdadu-serdadu NICA terpaksa mundur, dan meminta bantuan Inggris yang kemudian mengirimkan serdadu-serdadu India-Sikh yang terkenal pula keganasannya.
Pesawat-pesawat musuh meraung-raung sambil memuntahkan roket-roket dan bom-bom pembakarnya. Pemuda-pemuda Pejuang tetap bertahan mati-matian.
Sesungguhnya yang mempertahankan daerah Kramat Setelali tanggal 19 Nopember 1945 adalah Pemuda-Pemuda dari berbagai kelasykaran terutama Barisan Pelopor, API dan KRIS, karena TKR pada tanggal tersebut harus meninggalkan Jakarta. Dalam setiap pertempuran terkenal pula bahwa pemuda-pemuda KRIS adalah pemuda-pemuda Pejoang yang tangguh dan ‘ berani mati.
Pada tanggal 21 Desember 1945 terjadi lagi tembak-menembak antara Pemuda-Pemuda Pejoang melawan serdadu-serdadu-Belanda, dan banyak korban jatuh dikedua belah pihak. Akhirnya para Pemuda Pejuang terpaksa pula mengundurkan diri karena gempuran-gempuran dari musuh makin hebat dan makin aktif, mereka bergabung dengan pasukan Sumilat dari Cempaka Putih dan kemudian menuju Klender, Bekasi dan Krawang
Untuk Dihayati, walaupun telah mendapat gempuran yang dahsyat, jiwa perjuangan mereka tetap tangguh, kokoh dan tetap bertekad melawan musuh sekuat tenaga sebagai pengejawantahan semangat cinta Tanah Air dan Bangsa.
Dalam masa pembangunan sekarang ini, semangat demikian sangat diperlukan, tekad yang kokoh untuk menghasilkan Masyarakat adil dan makmur yang menyeluruh. Singkirkan godaan-godaan dan penghalang-penghalang dalam jalan menuju tercapainya cita-cita Revolusi ‘45. (desastian)