KAIRO, (Panjimas.com) – Tepat empat tahun yang lalu, ratusan demonstran Mesir dibantai di Alun-alun Rabaa al-Adawiya Kairo ketika pasukan keamanan dengan membabi buta membubarkan aksi demonstrasi yang digalang untuk mendukung Presiden Mohamed Morsi yang digulingkan dalam kudeta militer berdarah.
Enam pekan sebelum pembantaian tersebut, Mohamed Morsi – presiden Mesir pertama yang terpilih secara bebas di Mesir serta pemimpin Ikhwanul Muslimin yang kini menjadi organisasi terlarang – telah digulingkan dan dipenjarakan faksi militer yang kemudian merebut tampuk pemerintahan.
Dalam empat tahun sejak peristiwa berdarah Raba’a, pihak berwenang kerap melakukan tindakan keras terhadap aksi pembangkangan sipil, hingga menewaskan ratusan anggota Ikhwanul Muslimin dan serta para pendukung Morsi, bahkan memenjarakan puluhan ribuan warganya ke balik jeruji besi.
Banyak analis meyakini bahwa pertumpahan darah pada Aliansi Rabaa al-Adawiya membantu memperdalam krisis politik di negara yang telah mengalami kerusuhan terus-menerus sejak awal tahun 2011 itu, ketika sebuah pemberontakan populer menggulingkan Presiden otokratik Hosni Mubarak yang telah lama menjabat beberapa dekade.
“Solusi damai adalah kunci untuk menyelesaikan krisis yang sedang berlangsung di Mesir,” pungkas Ahmed Mekki, mantan Menteri Kehakiman, saat berbicara pada Anadolu Ajensi.
“Kedua belah pihak – Ikhwanul Muslimin dan pendukung mereka serta pihak militer Mesir – harus mempertimbangkan kembali posisi mereka saat ini,” ujarnya.
Akuntabilitas
Sejak kudeta militer berdarah 2013 yang menggulingkan Morsi, pihak berwenang Mesir telah memenjarakan seluruh pemimpin Ikhwanul Muslimin atas tuduhan melakukan “tindakan kekerasan” – tuduhan palsu rezim yang banyak dikritik oleh para pengamat.
Pihak berwenang yang didukung faksi Militer Mesir, sementara itu, mengklaim akan memerangi “pemberontakan militan” di mana ratusan personil keamanan tewas, terutama di Semenanjung Sinai yang bergejolak.
Para pengamat juga menuding pihak berwenang gagal menyelidiki pembubaran aksi sit-in pendudukan di Alun-alun Rabaa al-Adawiya Kairo tahun 2013, yang menurut Ikhwanul Muslimin, menyebabkan lebih dari 2.500 warga Mesir tewas dan ribuan lainnya luka-luka.
Pasca kudeta militer 2013 Otoritas Mesir, untuk bagian mereka, mengumumkan jumlah korban tewas hanya pada angka sekitar 620 jiwa.
“Kerabat orang-orang yang terbunuh dalam penyebaran tersebut telah kehilangan hak-hak mereka,” kata Ammar al-Beltagy, putra pemimpin Ikhwanul Fitri Mohamed al-Beltagy.
Ammar al-Beltagy menyalahkan otoritas Mesir atas tindak kekerasan yang terus diterapkan negara tersebut pasca-kudeta.
“Kami menginginkan keadilan dan pertanggungjawaban bagi mereka yang bertanggung jawab atas pertumpahan darah,” tegasnya.
“Ini satu-satunya jaminan bahwa kejahatan semacam itu tidak akan berulang”, tandasnya.
‘Terowongan Gelap’
Ammar, yang saudara perempuannya terbunuh dalam pembantaian Raba’a tahun 2013, menyetujui bahwa kekerasan di Kairo empat tahun lalu telah menjadi pendorong utama krisis politik Mesir yang sedang berlangsung.
“Pertumpahan darah di Alun-alun Rabaa al-Adawiya menyeret negara itu ke dalam terowongan gelap balas dendam yang telah membantu memperdalam polarisasi dan perpecahan masyarakat,” keluhnya.
Ahmed Mekki, mantan Menteri Kehakiman, pada bagiannya, menyuarakan sentimen serupa.
“Pertumpahan darah hanya menyebabkan lebih banyak kekerasan dan menyeret negara tersebut ke dalam konfrontasi tanpa henti dan tanpa akhir yang terlihat,” imbuhnya.
“Tidak ada prospek untuk menyelesaikan krisis, sepanjang masing-masing pihak tetap bersikeras di posisinya masing-masing,” pungkasnya.
Saeed Sadiq, seorang Akademisi Mesir, memperingatkan bahwa polarisasi hanya akan bertambah buruk “selama Ikhwanul Muslimin menyerang rezim setiap kesempatan yang dia dapatkan dan rezim membenarkan penindasannya dengan mengatakan bahwa ini hanyalah untuk ‘memerangi terorisme'”.
Keadilan Transisional
Nasser Amin, seorang ahli hukum Mesir, mengatakan bahwa krisis hanya dapat diselesaikan melalui apa yang dia sebut sebagai “keadilan transisional”.
“Semua aspek keadilan transisional harus diterapkan dengan mengungkap kebenaran (tentang apa yang sebenarnya terjadi), melembagakan reformasi dan kompensasi para korban,” papar Amin, seorang pengacara di Pengadilan Pidana Internasional yang berbasis di Den Haag.
“Dengan tidak adanya tindakan ini, tidak ada penyelesaian yang layak yang bisa dicapai,” ujarnya berpendapat.
“Penerapan keadilan transisional dapat menghentikan pertumpahan darah dan menyelesaikan sebagian besar masalah yang berkaitan dengan perselisihan tertentu,” pungkasnya.
Jihad Odeh, seorang akademisi terkemuka Mesir, baru-baru ini menyerukan dibentuknya sebuah Komite setelah pemilihan presiden tahun depan, sebuah komite yang ditugaskan untuk menyelidiki pembubaran massa Raba’a yang mematikan di tahun 2013.
Ammar, pada bagiannya, menyerukan terciptanya “atmosfer yang kondusif bagi keadilan dan kebebasan” dengan maksud untuk menyelesaikan krisis yang sedang berlangsung di Mesir dan perpecahan politik yang dalam, yang terus mengusiknya.
“Jika ini dilakukan, keadilan akan – cepat atau lambat – terpenuhi,” pungkasnya.[IZ]