JAKARTA (Panjimas.com) – Terbetik kabar, Simposium Nasional Kebangsaan Majelis Bangsa Indonesia (MBI) di Gedung Cawang Kencana tepat pada 17 Agustus 2017, yang rencananya akan menghadirkan sejumlah pembicara, seperti Letjen Prabowo Subianto, Sri Sultan HB X, Prof Yusril Ihza Mahendra, dan Kwik Kian Gie, diganggu oleh pihak tertentu.
Simposium Nasional bertajuk “Merekonstruksi Kedaulatan NKRI dengan Kembali pada Pancasila dan UUD 45 Asli ( 18 Agustus 1945) itu, seperti diwartakan media bahwa, Kemensos diduga menodai momentum Hari Kemerdekaan RI ke 72 dengan melakukan “penganiayaan” pada panitia Simposium Nasional Kebangsaan MBI (Majelis Bangsa Indonesia).
Lebih lanjut diwartakan, Kemensos diduga mengerahkan preman untuk mengganggu persiapan Simposium Nasional yang akan digelar oleh Panitia Pembentukan Majelis Bangsa Indonesia (MBI) yang rencananya dilaksanakan pada hari Jum’at 18 Agustus 2017.
Marsekal madya (purn) Achmanu Arifin sedang melaporkan kasusnya di Polres Jakarta Timur. Habib Salim Panglima Majelis Dzikir RI -1 yang datang ke lokasi juga menyayangkan tindakan liar oknum Kemensos yang menodai kehikmatan peringatan hari Kemerdekaan RI.
Diinfokan juga bahwa, Kemensos diduga mengerahkan preman dan staf kemensos saat panitia sedang melakukan persiapan gladi bersih acara Simposium di gedung Cawang kencana, para preman dan staff kemensos sempat menganiaya panitia dengan menyeret paksa Ibu Fifi dan Marsekal Madya (Purn) Achmanu Arifin.
Selanjutnya disebut bahwa, upaya paksa itu diduga tanpa ada surat perintah eksekusi. Upaya paksa tanpa ada surat perintah eksekusi tersebut berhasil digagalkan setelah datang pengacara Lukman Hakim.
Menurut Hilmi Al-Miskati salah seorang panitia Simposium eksekusi hanya alasan saja untuk menggagalkan acara Simposium, sebab: Upaya eksekusi sudah berkali-kali dilakukan dan sedang dalam proses dan status quo.
Para preman hanya menyasar ruang di mana Panitia Simposium melakukan aktivitas sedang ruang yang lain seperti GPAN ( Generasi Peduli anti Narkoba) yang juga sedang ada aktivitas sama sekali tidak ditengok serta ruangan lain sama sekali tidak diusik, sedangkan ruang panitia simposium langsung dilakukan pengosongan paksa dengan mengeluarkan semua barang meja kursi, berkas-berkas termasuk komputer dan menyeret paksa orang yang ada di dalamnya.
Eksekusi dilakukan pada hari libur Kemerdekaan 17 Agustus tepat satu hari sebelum pelaksanaan Simposium tanpa membawa selembarpun surat perintah eksekusi, ini sama dengan tindakan liar yang menodai peringatan hari kemerdekaan RI yang dilakukan oleh Kemensos.
Sikap Komnas HAM
Atas dasar itu, bila peristiwa itu benar adanya, Komnas HAM berpandangan, menyampaikan keprihatinan yang mendalam atas tindakan yang tidak manusiawi itu.
“Peristiwa yang dilakukan pada hari libur Kemerdekaan 17 Agustus yang diduga tanpa membawa selembarpun surat perintah eksekusi, ini sama dengan tindakan premanisme yang menodai peringatan hari kemerdekaan RI. Peristiwa mengancam masa depan demokrasi dan kebebasan berpendapat,” ungkap Maneger Nasution, Komisioner Komnas HAM, dalam siaran persnya.
Bahwa hak untuk berkumpul dan mengeluarkan pendapat adalah hak konstitusional warga negara (pasal 28E ayat (3) UUDNRI tahun 1945). Setiap orang bebas untuk mempunyai, mengeluarkan dan menyebarluaskan pendapat di muka umum sesuai hati nuraninya secara lisan dan atau tulisan dengan tetap memperhatikan nilai-nilai agama, kesusilaan, ketertiban, kepentingan umum, dan keutuhan negara (pasal 23 ayat (2) dan pasal 25 UU No.39 tahun 1999 tentang HAM).
Sekira benar adanya, Komnas HAM menyampaikan keprihatinan atas dugaan kekerasan dan dugaan pelibatan preman dalam aksi tersebut. Sebab, masih tersedia mekanisme lain yang lebih elegan dan efektif untuk menyelesaikan masalah tersebut.
Tindakan kekerasan yang diduga dilakukan oleh oknum pegawai Kemensos dan preman dalam peristiwa tersebut sangat tidak elok dan mencederai masa depan demokrasi dan kebebasan berpendapat. Tindakan kekerasan selamanya tidak akan menyelesaikan masalah. Bahkan sebaliknya justru dikhawatirkan akan melahirkan kekerasan-kekerasan baru.
Sejatinya negara hadir khususnya kepolisian negara untuk menginvestigasi kebenaran peristiwa itu. Sekira benar adanya, oknum dan fihak-fihak yang dengan sengaja memanfaatkan preman untuk kepentingan-kepentingan tertentu, sejatinya diproses secara profesional, independen, dan tidak diskriminatif sesuai dengan hukum yang berlaku.
Komnas HAM juga mengajak agar semua pihak menahan diri dan tidak terprovokasi oleh pihak-pihak yang tidak bertanggung jawab. Sebaiknya semua pihak dalam menyelesaikan masalah menggunakan mekanisme yang tersedia sesuai mekanisme hukum yang berlaku, dilakukan dengan elegan dan dengan mengedepankan dialog.
Komnas HAM mengajak, mari kita hadirkan kepercayaan bahwa negara khususnya kepolisian menuntaskan kasus tersebut secara profesional dan independen. (desastian)