JAKARTA (Panjimas.com) – Guna menyerap aspirasi ummat, Direktorat Jendral Bimbingan Masyarakat Islam (Dirjen Bimas Islam) Kementerian Agama Republik Indonesia (Kemenag RI), menggelar rapat koordinasi tentang penguatan fungsi agama dalam pembangunan nasional di Hotel Mercure Convention Ancol, Jakarta Utara, pada 10-12 Agustus 2017.
Rapat yang dibuka Menteri Agama RI Lukman Hakim Saefuddin itu menghadirkan para panelis dari Majelis Ulama Indonesia (MUI), Bappenas (Badan Perencanaan Pembangunan Nasional), dan Dewan Perwakilan Rakyat RI.
Acara diikuti peserta dari Kantor Wilayah Kemenag Provinsi, ormas, yayasan, dan lembaga kemitraan Kemenag.
Teten Romli Qomaruddin, peserta rapat dari Dewan Dakwah, merespon positif kegiatan serap aspirasi tersebut. ‘’Agar policy pemerintah yang bersifat keummatan seperti pemanfaatan dana haji terlebih dahulu melalui kajian yang melibatkan berbagai unsur ummat. Sehingga, kebijakan pemerintah tidak meresahkan ummat,’’ Teten memberi contoh.
Nah, setelah mengikuti rapat koordinasi tadi, Ketua Bidang Kajian Ghazwul Fikri dan Harakah Haddamah, Pusat Kajian Dewan Dakwah, ini memberikan sejumlah catatan kritis.
Teten menyoroti adanya kecenderungan untuk mengaburkan substansi dalam Buku Panduan Depag, seperti istilah ‘’aliran menyimpang’’ yang diganti dengan ‘’aliran bermasalah’’.
‘’Pengubahan istilah ini bukan perkara sepele, karena maknanya jadi bias. Ajaran yang tadinya menyimpang atau keluar dari Islam seperti Ahmadiyah, hanya dianggap bermasalah,’’ papar anggota bidang penelitian dan pengembangan Majelis Ormas Islam ini.
Teten yang kandidat doktor Universitas Ibnu Khaldun Bogor, juga mengkritik penggunaan istilah semacam ‘’wahabisme’’ dalam riset dan terbitan Depag.
‘’Istilah ‘wahabi’ harus diklarifikasi agar clear, dan riset-riset serta buku-buku yang memuat stigma semacam ini perlu ditinjau ulang,’’ ujar anggota majelis Fatwa MIUMI (Majelis Intelektual Ulama Muda Indonesia) Pusat tersebut.
Teten yang wakil sekretaris komisi dakwah khusus MUI Pusat, juga menyayangkan upaya peninjauan ulang terhadap “sepuluh kriteria pedoman identifikasi aliran sesat” yang dirumuskan MUI Pusat.
Rumusan tersebut merupakan hasil Rakernas MUI di Jakarta pada 6 November 2007. Kesepuluh kriteria itu adalah: Mengingkari salah satu dari rukun iman yang 6; Meyakini dan atau mengikuti aqidah yang tidak sesuai dengan Alquran dan sunnah; Meyakini turunnya wahyu setelah al-Quran; Mengingkari otentisitas dan atau kebenaran isi al-Quran;
Kemudian, melakukan penafsiran al-Quran yang tidak berdasarkan kaidah-kaidah tafsir; Mengingkari kedudukan hadis nabi sebagai sumber ajaran Islam; Menghina, melecehkan dan atau merendahkan para nabi dan rasul;
Selanjutnya, mengingkari Nabi Muhammad sebagai nabi dan rasul terakhir; Mengubah, menambah dan atau mengurangi pokok-pokok ibadah yang telah ditetapkan oleh syariah, seperti haji tidak ke baitullah, salat wajib tidak 5 waktu; Mengkafirkan sesama muslim tanpa dalil syar’i seperti mengkafirkan muslim hanya karena bukan kelompoknya.
‘’Rumusan itu sudah tepat menjadi pedoman ummat. Jangan dilemahkan, tapi justru harus lebih dikuatkan,’’ tandas Teten.
Dewan Dakwah sangat menghargai dan mengapresiasi Kemenag yang membagikan buku, jurnal, dan berbagai referensi untuk menghidupkan gerakan literasi perpustakaan masjid di Indonesia.
Namun, hendaknya berbagai penerbitan itu diseleksi dengan melibatkan elemen-elemen ummat. Sehingga, terhindar penyebaran muatan-muatan yang tidak sesuai dengan ajaran Islam.
Untuk program penyuluhan agama melalui Kantor Urusan Agama khususnya di daerah-daerah terpencil dan pedalaman, Dewan Dakwah berharap agar pemerintah bersinergi dengan para da’i yang dikirimkan ormas-ormas Islam. (des)