GAZA, (Panjimas.com) – Brigade Ezzedin al-Qassam, sayap bersenjata Hamas, barub-baru ini mengusulkan sebuah inisiatif baru pada hari Kamis (10/08) dengan tujuan untuk memecahkan kebuntuan politik mengenai situasi kemanusiaan di Jalur Gaza yang kondisinya kini sangat buruk, demikian menurut seorang sumber internal Al-Qassam yang berbicara kepada Anadolu Ajensi.
Sumber yang berbicara secara anonim tersebut, mengatakan bahwa rencana “empat poin” tersebut bertujuan untuk “membiarkan vakum politik dan keamanan di Gaza yang dapat mengarah pada suatu hasil, termasuk kemungkinan konfrontasi militer dengan pendudukan Israel”.
“Polisi sipil (di Gaza) akan terus memberikan layanan mereka sebagaimana biasa, sementara itu beberapa institusi lokal akan terus memenuhi kebutuhan warga,” pungkasnya.
Di bawah rencana tersebut, Brigade Al-Qassam – bersama dengan sayap militer faksi-faksi Palestina lainnya – akan dipercayakan untuk memastikan keamanan wilayah Jalur Gaza dari ancaman eksternal, menurut sumber tersebut menjelaskan.
Unit Layanan Keamanan Gaza yang dikelola Hamas, untuk selanjutnya, akan dibebankan hanya untuk menjalankan urusan sipil Gaza.
Sumber tersebut tidak memberikan rincian lebih lanjut mengenai rencana “empat poin” usulan Al-Qassam tersebut, yang kabarnya telah disampaikan kepada pimpinan politik Palestina di Ramallah.
Langkah [Abbas] Yang Belum Pernah Terjadi Sebelumnya
Jalur Gaza tetap berada dalam krisis ekonomi dan kemanusiaan yang menghancurkan kehidupan para penduduknya, dan ini disebabkan oleh blokade Israel-Mesir yang telah berjalan selama satu dekade (10 tahun).
Krisis ini semakin diperburuk dengan serangkaian tindakan yang baru-baru ini dilakukan oleh Presiden Palestina Mahmoud Abbas, yang memimpin baik pemerintah Palestina maupun Otoritas Palestina (PA) (keduanya berbasis di kota Ramallah di Tepi Barat).
Pada bulan April, Abbas bersumpah untuk mengambil “langkah yang belum pernah terjadi sebelumnya” dalam hal Jalur Gaza, yang berada dalam kendali Hamas sejak 2007 dan oleh karena itu tetap berada di luar kendali pemerintahan Ramallah.
Pada sebuah pertemuan Kamis (04/05) di Washington dengan para Duta Besar Arab, Abbas dilaporkan mengancam akan mengambil langkah-langkah yang “belum pernah terjadi sebelumnya” yang ditujukan untuk memaksa Hamas – yang telah memerintah Jalur Gaza sejak 2007 – untuk menyerahkan pemerintahan wilayah Jalur Gaza kepada pemerintah “persatuan” yang berbasis di Ramallah.
Dalam pernyataannya, juru bicara Hamas Fawzi Barhoum mengkritik “ancaman” terhadap Hamas yang disampaikan Mahmoud Abbas pada pertemuan hari Kamis (04/05) dengan para diplomat Arab di Washington, AS.
“Ancaman (oleh Abbas) harus ditujukan pada musuh-musuh Palestina, bukan para pembelanya,” tegas Barhoum, dikutip dari Anadolu.
Hamas, lanjutnya, siap untuk berpartisipasi dalam pemilihan Palestina, asalkan dilakukan secara bebas dan transparan
Abbas sejak itu berhasil mennjalankan ancamannya, dimana pemerintah Ramallah memotong gaji semua pegawai Otoritas Palestina yang berbasis Gaza, dengan nilai sekitar 30 persen.
Otoritas Palestina pimpinan Abbas baru-baru ini juga mengurangi jumlah pasokan listrik yang diberikan Israel setiap bulannya untuk penyediaan sekitar 10 persen kebutuhan listrik Gaza – sebuah langkah yang telah memperburuk krisis energi yang telah terjadi di wilayah pesisir pantai tersebut.
Terlebih lagi, pemerintah Palestina memaksakan 6.145 karyawan yang berbasis di Gaza untuk pensiun dini bulan lalu tanpa memberikan alasan apapun atas tindakan politisnya tersebut.
Pada saat itu, kantor berita resmi pemerintah Palestina, “WAFA” mengutip seorang juru bicara pemerintah Ramallah yang mengatakan bahwa kebijakan-kebijakan “sementara” itu dapat ditangguhkan “jika Hamas menghentikan semua aktivitas yang berkontribusi pada perselisihan internal [Palestina]”.
Pada tahun 2014, Hamas dan Fatah – yang mengelola Jalur Gaza yang diblokade dan Tepi Barat yang diduduki Israel – sepakat pada prinsipnya untuk membentuk sebuah pemerintahan persatuan nasional.
Pemerintah persatuan nasional yang disebut-sebut itu, bagaimanapun, sejauh ini gagal dalam mengambil peran pemerintahan di Gaza karena perbedaan yang luar biasa antara kedua gerakan bertentangan secara ideologis, strategis dan taktis tersebut.[IZ]