WASHINGTON, (Panjimas.com) – Sabtu (05/08) pagi pekan lalu, saat umat Islam di Bloomington, Minnesota, AS hendak menunaikan sholat Subuh, Mereka dikagetkan dengan serangan bom yang menyasar bangunan Masjid “Dar Al Farooq Islamic Center”.
Akan tetapi, Presiden AS, Donald. J. Trump dan pihak Gedung Putih sejauh ini tetap diam membisu, tidak sedikit pun menyentuh kasus serangan Masjid Minnesota tersebut.
Berbeda dengan Trump, Gubernur Minnesota Mark Dayton segera menyatakan serangan terhadap Masjid itu sebagai bentuk “serangan terorisme”, dan ini telah menarik perhatian dan apresiasi dari komunitas Muslim-Amerika.
“Penghancuran yang dilakukan ke situs suci ini tidak terpikirkan, tak termaafkan. Saya berharap dan berdoa agar pelaku ditangkap dan diadili dengan setimpal secara hukum, ” pungkasnya, Ahad (06/08).
Sementara itu, ketika ditanya tentang tidak adanya tanggapan Gedung Putih, Deputi Asisten Trump Sebastian Gorka mengatakan bahwa pihak Gedung Putih sedang menunggu hasil penyelidikan, dan menunjukkan bahwa serangkaian kejahatan kebencian yang dimaksudkan untuk menyalahkan di pihak sayap kanan telah dilakukan oleh kaum kiri di negara tersebut dalam 6 bulan terakhir.
Tidak jelas pihak mana yang dimaksudkan Sebastian Gorka.
“Terdapat peraturan yang bagus: semua laporan awal salah, Anda harus memeriksanya. Anda harus mencari tahu siapa pelakunya,” kata Gorka kepada media-media Amerika.
Trump sebelumnya secara tergesa-gesa segera mengutuk keras serangan teror di masa lalu saat para pelakunya diidentifikasi seorang Muslim, dan seringkali Trump melampaui penyelidikan otoritas lokal dalam menentukan sifat serangan tersebut, Namun diam membisu ketika Muslim AS menjadi sasaran serangan teror dan kejahatan kebencian.
Kebiadaban Sikap Trump
“Diamnya Trump adalah tindakan biadab, dan pelanggaran besar”, demikian menurut seorang anggota Kongres AS yang merupakan Muslim pertama yang meraih posisi prestisius itu.
“Lebih buruk lagi, Sebastian Gorka, salah satu pembantu utama Trump, berusaha tanpa bukti apa pun untuk mengalihkan perhatian masyarakat dari kisah sebenarnya: bahwa sekelompok orang Amerika yang dengan damai beribadah adalah sasaran tindakan teroris,” tegas Keith Ellison dalam sebuah pernyataannya, mengutip laporan Anadolu Ajensi.
“Dengan meminimalkan serangan dan menyindir bahwa kelompok ‘kiri’ ada di balik tindakan ini, pemerintahanb Trump sekali lagi menunjukkan penghinaannya terhadap komunitas Muslim Amerika,” tandasnya.
Southern Poverty Law Center, sebuah organisasi nirlaba yang melacak kejahatan kebencian di A.S., mengatakan bahwa diam membisunya pemerintahan Trump ini sesuai dengan pola tanggapannya terhadap serangan anti-Muslim.
“Ini adalah kegagalan total dari kepemimpinannya,” kata Heidi Beirich, Direktur Pusat Southern Poverty Law Center untuk Proyek Intelijen, yang melacak kejahatan kebencian di AS.
“Di atas itu, untuk Gorka, seorang pria yang terhubung dengan kelompok neo-Nazi di Hungaria, yang mengatakan bahwa semua kejahatan kebencian dilakukan kelompok sayap kiri, ini tidak masuk akal dan ini penghinaan”, pungkas Beirich.
“Gorka seharusnya tidak menjabat posisi politik,” tegasnya.
Melonjaknya Islamophobia di AS
“Insiden tersebut merupakan gejala dari berkembangnya suasana Islamofobia di AS,” kata Direktur Komunikasi CAIR, Ibrahim Hooper, kepada Anadolu Ajensi.
“Karena kapan pun Anda melihat motif yang mungkin ada dalam kasus seperti ini, nampaknya Islamofobia akan menjadi jenis motivasi utama yang akan Anda lihat”, pungkasnya.
Hooper mengatakan pemberian penghargaan atau reward khusus di masa lalu telah berhasil dalam mengumpulkan informasi-informasi yang mengarah pada penangkapan pelaku penyerangan.
“Karena seringkali mereka membual kepada orang dan teman, serta keluarga mereka, bahwa mereka telah melakukan ini dan mereka bangga akan hal itu. Kemudian seseorang akhirnya, karena insentif pemberian (reward), menawarkan informasi kepada polisi dan mereka ditangkap,” imbuh Hooper.
Secara nasional, kantor pusat Council on American Islamic Relations (CAIR) juga mendesak Masjid-Masjid dan Pusat-Pusat Islam di seluruh negeri untuk meningkatkan keamanan.
Kejahatan Kebencian Anti-Muslim Meningkat Tajam
Jumlah kejahatan kebencian anti-Muslim meningkat 91 persen pada paruh pertama tahun 2017 dibandingkan dengan periode yang sama pada tahun 2016, menurut penyelidikan kelompok advokasi Muslim terkemuka AS, pertengahan bulan Juli lalu, seperti dilansir Anadolu Ajensi.
Dewan Hubungan Amerika-Islam, Council on American-Islamic Relations (CAIR) melaporkan jumlah kejahatan kebencian anti-Muslim melonjak tajam dari periode tahun 2016, yang merupakan tahun terburuk bagi insiden anti-Muslim sejak organisasi hak-hak sipil muslim itu memulai sistem pendokumentasiannya pada kasus-kasus Islamophobia di tahun 2013.
Menurut laporan CAIR tersebut, jumlah insiden bias pada semester pertama 2017 juga meningkat sebesar 24 persen pada tahun ini.
“Kampanye pemilihan presiden dan pemerintahan Trump telah memanfaatkan lapisan kefanatikan dan kebencian yang telah menyasar kelompok Muslim Amerika dan kelompok minoritas lainnya,” kata Zainab Arain, Koordinator Departemen Pemantauan dan Perlawanan Islamofobia CAIR.
“Jika tindakan bias yang mempengaruhi komunitas Muslim Amerika berlanjut seperti sebelumnya, 2017 bisa menjadi salah satu tahun terburuk yang pernah terjadi untuk insiden semacam itu”, tandasnya.
Jenis insiden yang paling sering didokumentasikan oleh CAIR pada kuartal kedua tahun 2017 melibatkan pelecehan, yang didefinisikan sebagai insiden tanpa kekerasan atau tidak mengancam. Jenis insiden bias kedua yang paling umum adalah kejahatan kebencian dan melibatkan kekerasan fisik atau kerusakan properti.
CAIR mengatakan pemicu insiden prasangka anti-Muslim yang paling umum di tahun 2017 tetap menyasar etnis korban atau asal negara, dan ini menyumbang 32 persen dari total kasus.
“20 persen insiden terjadi karena seseorang dianggap Muslim. Jilbab perempuan Muslim adalah pemicu 15 persen insiden,” tambahnya.
Data-data dalam laporan tersebut diambil terutama dari pendokumentasian kasus CAIR setiap tahunnya. Dalam setiap kasus, hak sipil dan staf hukum berusaha untuk memastikan tingkat akurasi tertinggi.
Menurut laporan CAIR tahun 2016, insiden kejahatan kebencian anti-Muslim meningkat lebih dari 40 persen dibandingkan tahun 2015, dengan peningkatan 44 persen kejahatan kebencian yang menargetkan Muslim. Sementara itu, terjadi peningkatan 57 persen insiden bias anti-Muslim selama masa itu.[IZ]