SANA’A, (Panjimas.com) – Pasukan Koalisi pimpinan Arab Saudi yang baru-baru ini mengebom posisi kelompok pemberontak Syiah Houthi, Selasa (08/08), membantah telah menargetkan warga sipil di provinsi Saada, Utara Yaman.
Pekan lalu, Koordinator Kemanusiaan PBB di Yaman Jamie McGoldrick mengatakan 12 warga sipil, termasuk anak-anak, tewas dalam serangan udara di rumah mereka di Saada.
Meskipun, McGoldrick tidak menyebutkan pasukan koalisi yang dipimpin oleh Saudi sebagai pihak yang bertanggung jawab, dia mengatakan bahwa serangan udara tersebut menunjukkan “ketidakpedulian” menyeluruh atas kehidupan manusia.
Dalam sebuah pernyataan, juru bicara pasukan koalisi Kolonel Turki al-Malk mengatakan pasukannya tidak melakukan serangan udara di Saada pada hari Jumat (04/08).
“Komando gabungan tersebut telah menyelesaikan tinjauannya setelah tindakan untuk operasi yang telah dilakukan Jumat lalu dan meninjau semua tugas operasional yang dilakukan di Provinsi Saada, al-Malk mengungkapkan bahwa tidak ada bukti dugaan palsu tersebut,” jelasnya dalam sebuah pernyataan yang dikutip oleh Saudi Press Agency (SPA).
Kolonel Turki al-Malk mengatakan bahwa pernyataan [UNICEF] didasarkan pada “perkiraan pribadi daripada investigasi yang adil dan sistematis”.
“Pernyataan tersebut tampaknya dikeluarkan atas laporan lapangan yang belum dikonfirmasi yang bisa lebih akurat jika mereka memiliki kesabaran, kredibilitas dan bukti,” katanya.
Pada hari Senin (07/08), Perwakilan Residen UNICEF di Yaman Meritxell Relano mengatakan bahwa lebih dari 200 anak telah terbunuh di Yaman selama paruh tahun 2017.
“Pada tahun 2017, 201 anak-anak terbunuh di Yaman; 152 anak laki-laki dan 49 perempuan,” kicau Meritxell Relano, Perwakilan Residen UNICEF di Yaman, melalui akun Twitternya, dikutip dari AA.
Relano melaporkan 347 anak-anak Yaman menyandang cacat, termasuk 113 anak perempuan. Sementara itu, sebanyak 377 anak laki-laki Yaman bergabung dalam pertempuran yang sedang berlangsung tahun ini.
Pernyataan pejabat PBB tersebut muncul beberapa hari setelah kelompok pemberontak Syiah Houthi menuding pasukan koalisi pimpinan Saudi membunuh 12 warga sipil, termasuk anak-anak, dalam sebuah serangan di provinsi Saada, Utara Yaman.
Relano mengatakan empat anak perempuan dan dua anak laki-laki berusia antara 2 dan 14 tahun dilaporkan terbunuh dalam serangan itu, namun tanpa menyebutkan pihak yang bertanggung jawab atas serangan tersebut.
Sedikitnya dalam jangka tiga tahun konflik Yaman, 1.546 anak-anak telah terbunuh sementara 2.450 lainnya mengalami luka-luka, menurut data UNICEF yang dirilis pada bulan Maret lalu.
Yaman yang kini menjadi negara miskin, tetap berada dalam keadaan kacau sejak tahun 2014, ketika milisi Syiah Houthi dan sekutunya menguasai ibukota Sanaa dan bagian-bagian lain negara ini.
Sejak Maret 2015, koalisi internasional yang dipimpin Saudi telah memerangi pemberontak Syiah Houthi yang disokong rezim Iran dan pasukan-pasukan yang setia kepada mantan Presiden Yaman Ali Abdullah Saleh, Arab Saudi dan sekutu-sekutu negara Muslim Sunni meluncurkan kampanye militer besar-besaran yang bertujuan untuk mengembalikan kekuasaan yang diakui secara internasional dibawah Presiden Abd-Rabbu Mansour Hadi.
Arab Saudi dan para sekutunya melihat milisi Houthi sebagai proxy kekuatan Iran di dunia Arab. Koalisi militer Arab yang dipimpin oleh Saudi di Yaman terdiri dari Koalisi 10 negara yakni Arab Saudi, Kuwait, Uni Emirat Arab, Qatar, Bahrain, Yordania, Mesir, Maroko, Sudan, dan Pakistan.
Sejumlah organisasi hak asasi manusia telah menuding Kerajaan Saudi terlibat kejahatan perang sebagai akibat dari kampanye pengebomannya yang dapat dianggap sembarangan dan menyebabkan kerusakan berlebihan pada negara tersebut termasuk jumlah korban tewas yang cukup tinggi.
Menurut pejabat PBB, lebih dari 10.000 warga Yaman telah tewas akibat konflik berkepanjangan ini, sementara itu lebih dari 11 persen dari jumlah penduduk negara itu terpaksa mengungsi, sebagai akibat langsung dari pertempuran yang tak kunjung usai. Untuk diketahui, lebih dari setengah total korban adalah warga sipil. sementara 3 juta lainnya diperkirakan terpaksa mengungsi, di tengah penyebaran malnutrisi dan penyakit.[IZ]