JAKARTA (Panjimas.com) – Konfederasi Serikat Pekerja Indonesia (KSPI) mengadakaan aksi serentak di Jakarta dan beberapa kota besar, seperti: Batam, Medan, Bandung, Makassar, Serang, dan lain-lain, Selasa (8/8/2017).
Di wilayah Jabodetabek, aksi akan dipusatkan di Istana Negara dengan titik kumpul di Patung Kuda Indosat, silang Monas Barat Daya jam 10.00 wib sampai dengan jam 18.00 wib dengan jumlah massa kurang lebih 5.000 orang buruh.
Dalam pernyataan sikapnya, Presiden KSPI Said Iqbal menyinggung soal upah buruh hingga Perppu pembubaran Ormas. Terkait upah dan daya beli buruh, Iqbal menegaskan, Jokowi harusnya mencabut PP 78/2015 dan juga menurunkan harga Tarif Dasar Listril ( TDL) agar daya beli buruh dan masyarakat kembali naik.
Iqbal mengatakan, belakangan ini, menteri keuangan berencana menaikkan batas Pendapatan Tidak Kena Pajak (PTKP) dari 4,5 juta per bulan menjadi setara Upah Minimum Provinsi. “Presiden Jokowi yang sedari awal menapaki jenjang karir politik melalui tangga pencitraan, rupa-rupanya sangat pandai menjaga citranya,” tukas Iqbal.
Menurut Iqbal, Perppu Ormas yang diterbitkan oleh Jokowi dapat diibaratkan tameng kekuasaan. Dengan adanya Perppu ini, pemerintah dengan mudah dapat menjustifikasi organisasi masyarakat sipil yang tidak dia senangi sebagai organisasi ‘anti pancasila’ yang musti dibubarkan.
Persoalan ekonomi yang menimpa buruh juga berasal dari Jusuf Kalla. Posisinya sebagai Wakil Presiden dapat mengintervensi Gubernur Jawa Barat untuk memutuskan Upah Padat Karya yang nilainya lebih rendah dari UMK di Kota Bekasi, Kota Depok, Kabupaten Purwakarta dan Kabupaten Bogor. Hal ini menunjukan keberpihakan pemerintah sungguh berat ke kalangan pengusaha.
“Persoalan lain yang berdampak pada kesejahteraan buruh adalah buruh yang sedang proses PHK dan 6 bulan pasca PHK tidak mendapatkan manfaat BPJS Kesehatan. Hal tersebut sangat memberatkan buruh dan atau anggota keluarganya ketika jatuh sakit ditengah situasi PHK yang notabenenya kehilangan pendapatan.”
“Bukan hanya hal-hal ekonomi, demokrasi pun tercederai belakangan ini melalui disahkannya UU Pemilu. UU Pemilu sarat dengan hasrat partai politik tertentu yang ingin memantapkan kekuaasaannya. UU pemilu adalah cermin dari menguatnya oligarki politik di level negara.”
Persoalan-persoalan diatas adalah segelintir contoh dari sekian yang dirasakan oleh buruh. Oleh karenanya, berdasarkan refleksi situasi dan kondisi ekonomi nasional dan perburuhan yang carut marut tersebut.
Buruh Dikenai Pajak
Dalam aksi serentak 8 Agustus 2017 ini, KSPI mengusung 7 tuntutan, diantaranya menolak penurunan batas Pendapatan Tidak Kena Pajak (PTKP). Seperti diketahui, selama ini PTKP yang berlaku adalah 4,5 juta per bulan. Dengan kata lain, pekerja yang upahnya di bawah 4,5 juta tidak terkena pajak.
Jika Menteri Keuangan menurunkan PTKP menjadi sesuai dengan Upah Minimum Provinsi, maka pekerja yang upahnya di bawah 4.5 juta akan terkena pajak. Kebijakan ini lebih parah dari sebelumnya. Sebab sebelum naik menjadi 4.5 juta, nilai PTKP adalah 3 juta.
Sebagai contoh, UMP Jawa Tengah tahun 2017 ini sebesar 1.3 juta. Dengan demikian, pekerja yang upahnya sebesar 1.35 juta sudah terkena pajak. Kebijakan ini seperti rentenir. Dimana pemerintah memajaki dan memalaki rakyat kecil. Oleh karena itu, KSPI tegas menolak kebijakan ini.
Adapun alasan penolakannya adalah sebagai berikut: Daya beli buruh masih rendah. Jika PTKP diturunkan, maka daya beli akan semakin memburuk. Upah buruh yang masih rendah itu akan diperparah dengan akan adanya pengeluaran yang harus dibayar, yaitu pajak. Hal itu akan membebani buruh.
Indikator menurunnya daya beli, salah satunya adalah penjualan motor turun 7 persen, dan penjualan mobil turun 5.7 persen. Rumah murah yang targetnya 1 juta rumah tidak tercapai. Ibu rumah tangga paling merasakan dampaknya, ketika hampir semua kebutuhan naik. Apa yang dilakukan pemerintah ini mirip dengan VOC, yang menarik upeti dari rakyat.
“Kebijakan ini terkesan akal-akalan. Dulu ketika membuat kebijakan UU Tax Amnesty, dalihnya adalah untuk menarik repatriasi dan deklarasi. Setelah tahun pertama dibebaskan, mustinya tahun kedua mereka sudah harus membayar pajaknya.”
Kata Iqbal, kemana pajak hasil deklarasi dan repatriasi yang katanya 4000 T lebih itu? Ini yang kita tidak setuju. Rasa ketidakadilan kita tercederai. Ini orang kaya diampuni, orang miskin dikejar-kejar pajaknya.
Ketika KSPI mengajukan judicial review terhadap UU Tax Amnesty, salah satu argumentasi pemerintah adalah buruh tidak bayar pajak. Argumentasi pemerintah tersebut didahului dengan menaikkan PTKP dari 3 juta menjadi 4.5 juta.
“Kita tidak bisa membandingkan antar negara tanpa melihat faktor-faktor ekonomi yang lain. Perbandingan negara apple to apple. Malaysia dan Thailand itu pendapatan perkapitanya sudah bagus. Sementara Indonesia daya belinya rendah.
Data ILO menunjukkan, upah rata-rata Indonesia masih rendah. Upah rata-rata Thailand adalah 357 dollar, Malaysia 506 dollat, Filipina 206 dollar, dan Indonesia hanya 174 dollar.
“Upahnya paling rendah di negara ASEAN, tetapi PTKP nya mau diturunkan sehingga buruh yang upahnya sudah rendah harus dipajaki pula. Cara berfikir seperti inilah yang akan kita lawan.” (desastian)