YANGON, (Panjimas.com) – Pemerintah Myanmar mengklaim bahwa sekelompok bersenjata pada hari Kamis (03/08) membunuh enam penduduk desa di negara bagian Rakhine yang bergejolak.
Sebuah rilis dari kantor Penasihat Negara Aung San Suu Kyi mengatakan bahwa para penduduk diserang saat mereka sedang dalam perjalanan menuju ke lahan pertanian di dekat Desa Kine Gyi di Kotapraja Maungdaw, Kamis pagi
Pemerintah mengatakan pasukan keamanan menemukan enam penduduk desa, termasuk tiga diantaranya perempuan, tewas akibat luka tembak dan tikaman pisau.
Korbannya adalah anggota minoritas etnis Myo, kata pemerintah Myanmar.
Pihak berwenang menambahkan bahwa pasukan keamanan sedang mencari dua penduduk desa yang dilaporkan hilang.
Bagian Utara negara bagian Rakhine terpaksa mengalami tindakan kekerasan militer selama empat bulan setelah sembilan polisi tewas di dekat perbatasan barat Myanmar-Bangladesh Oktober lalu.]
Sedikitnya 106 orang tewas dalam operasi militer tersebut, menurut klaim pemerintah, namun kelompok Rohingya menyebutkan sekitar 400 penduduk Muslim Rohingya telah dibantai.
Pemerintah mengatakan telah terjadi sekitar 60 kasus pembunuhan warga sipil atau penculikan oleh kelompok militan sejak operasi berakhir pada bulan Februari lalu.
Sebuah laporan PBB baru-baru ini mengatakan bahwa terdapat bukti dimana pasukan keamanan Myanmar melakukan pelanggaran-pelanggaran terhadap Muslim Rohingya seperti pembunuhan, termasuk bayi dan anak-anak, pemerkosaan dan perampasan harta benda dan properti lainnya.
Penindasan Rohingya Terstruktur dan Sistematis
Pelapor khusus HAM PBB di Myanmar, Yanghee Lee, pada Jumat (20/01/2017) mengatakan bahwa pemberontakan bersenjata di negara bagian Rakhine disebabkan karena diskriminasi selama beberapa dekade lamanya yang dilembagakan, tersturktur dan sistematis terhadap Muslim Rohingya.
Undang-Undang tahun 1982 menolak hak-hak etnis Rohingya – banyak di antara mereka telah tinggal di Myanmar selama beberapa generasi, namun hak kewarganegaraan mereka tak diakui, status mereka stateless [tanpa negara]. Situasi ini juga menghilangkan kebebasan Rohingya bergerak, dari akses pendidikan hingga layanan kesehatan yang sangat minim, bahkan otoritas Myanmar terus melakukan penyitaan sewenang-wenang terhadap properti milik mereka.
Diperkirakan 1,1 juta Muslim Rohingya tinggal di Rakhine, di mana mereka dianiaya, dan menjadi minoritas etnis tanpa negara. Pemerintah Myanmar secara resmi tidak mengakui Rohingya, menyebut mereka imigran Bengali sebagai imigran ilegal, meskipun ketika dilacak akar sejarahnya, etnis Rohingya telah lama hidup dan tinggal di Myanmar selama beberapa generasi.
Minoritas Etnis Paling Tertindas
John McKissick, seorang pejabat Badan pengungsi PBB yang berbasis di Bangladesh, mengatakan etnis Rohingya adalah “minoritas etnis yang paling tertindas di dunia.”
Bahkan sebuah rencana Kepolisian akhir tahun lalu mengumumkan untuk mempersenjatai dan melatih kekuatan sipil para warga non-Muslim dari Arakan, dan hal ini cenderung meningkatkan ketegangan sektarian.
Kekerasan sangat mempengaruhi Muslim Rohingya. Sekitar 100.000 masih hidup dalam keterbatasan di tempat-tempat kumuh di mana mereka dilarang pergerakannya, dibatasi aksesnya terhadap pendidikan dan kesehatan. Puluhan ribu Rohingya telah melarikan diri dengan perahu, banyak dari mereka meregang nyawa di lautan yang berbahaya.
Muslim Rohingya telah melarikan diri dari Myanmar sejak pertengahan 2012 setelah kekerasan komunal pecah di Rakhine antara etnis Rakhine Buddha dan Muslim Rohingya, menewaskan lebih dari 100 orang dan memaksa sekitar 140.000 Muslim Rohingya mengungsi.
Menurut perhitungan lainnya, Kekerasan tahun 2012 tersebut membuat sekitar 57 Muslim dan 31 Buddha tewas, sekitar 100.000 korban lainnya mengungsi di kamp-kamp dan lebih dari 2.500 rumah dihancurkan -. yang sebagian besar milik Muslim Rohingya
Laporan-laporan penargetan disengaja dan pembunuhan tanpa pandang bulu serta penangkapan warga sipil Rohingya, penghancuran rumah-rumah dan bangunan keagamaan, juga pelecehan sesual pada perempuan Rohingya oleh pasukan militer harus diselidiki sepenuhnya oleh masyarakat internasional, karena tindakan-tindakan itu sama saja dengan kejahatan terhadap kemanusiaan.[IZ]