BOYOLALI (Panjimas.com) – Kemesraan suami istri di kota Metropolitan sering kita lihat dan mendengar hanya ketika akan menikah hingga beberapa bulan. Banyak artis pun mempertahankan rumah tangga hanya hitungan tahun bahkan bulan saja.
Berbeda dengan Paimin Wiyono, sesosok laki-laki tua berusia sekitar 75 tahun. Pandangannya cerah, sorot matanya tajam meski selaput putih samar-samar menutup bola mata. Gurat wajah menggaris tebal. Laki-laki berpeci hitam itupun senyum saat disapa Panjimas.com, meski nampak aneh dan menggelikan ketika gigi-giginya sudah tidak ada.
Kakek berputra 6 orang dan bercucu 9 orang ini tidak sendiri, dia datang bersama sandaran hati yang membangun rumah tangga sejak 50 tahun yang silam, di daerah Gamping, Sleman, Yogyakarta. Dengan kursi roda, dia dorong istrinya Ngadinah yang lebih muda 3 tahun dengan dirinya, ke Embarkasi Haji Donohudan, Boyolali untuk cek masuk pemberangkatan haji.
Keduanya menjadi satu rombongan Kloter 27 bersama jamaah haji asal Sleman, sebanyak 350an calon jamaah haji. Ditengah keriuhan aula utama Embarkasi haji Donohudan, Wiyono mengisahkan kronologi dirinya hingga memenuhi panggilan Allah ke Baitullah, Makkah Al Mukaromah.
“Itu cuma panggilan Allah, saya kan penganggur. Dulu saya tani penggarap sawah,” ujar Wiyono mengawali mengingat niatnya berhaji, Jumat (4/8/2017).
Tahun 2010, sebagai seorang petani sawah yang memegang keimanan, Wiyono sangat berharap bisa menjalankan ibadah ke lima dalam rukun Islam. Jalan satu-satunya untuk mendaftar biaya haji yang mencapai 25 juta rupiah per orang kala itu, dia jual sawah miliknya. Tak ingin kehilangan mata pencaharian sebagai petani, Wiyono pun membeli kembali sawah meski ukurannya tidak sebesar miliknya dahulu.
“Alhamdulillah, saya belikan lagi dan sisanya saya daftarkan untuk haji berdua sama istri saya. 50 juta berdua,” katanya mengenang.
Sesekali Wiyono melihat istrinya yang hanya bersandar di atas kursi roda. Ngadinah pun membalas pandangan suaminya dengan senyuman mesra, memang tak secantik kala pertama berjumpa. Tapi kesabaran Wiyono menemani istri dalam kondisi jompo tak menyurutkan niat berangkat ke Makkah, Arab Saudi.
“Sudah dua tahun yang lalu, istri saya sakit lemah jantung. Sampai sekarang kontrol rutin tiap bulan. Ya ini karena kehendak Allah, kita menjalankan saja,” kata Wiyono diiringi tawa kecil seakan menahan air mata.
Kondisi istri Wiyono memang tak sesempurna dua tahun yang silam. Ingatan memori sudah berkurang, tetapi keputusan memenuhi panggilan Allah tak menyurutkan semangat keduanya. Kalaupun ini menjadi akhir hidupnya, setidaknya Wiyono dan Ngadinah dalam kondisi menghadap Allah di tempat suci Makkah.
“Ya harus semangat, kita sudah menunggu 7 tahun, ayo berangkat, sudah dipanggil Allah. Cuma maaf ya, ininya sudah terbolak-balik, insyaAllah saya siap menemani istri saya,” pungkas Wiyono sambil menghampiri istrinya mengajak berpoto. [SY]