JAKARTA (Panjimas.com) – Mengembara ke hutan belantara, menyebrangi lautan, melewati sungai yang penuh buaya, meninggalkan hiruk pikuk kesibukan, tidak ada sinyal, hujan sepanjang waktu, berjalan kaki menuju hutan, kehabisan bekal makanan, dan terlibat secara emosi bersama-sama untuk menyelami umat yang tinggal nun jauh di pedalaman hutan Halmahera.
Itulah kesan yang mendalam dari perjalanan Tim Ekspedisi Syahadat Gerakan Peduli Masyarakat Pedalaman (GPMP) saat menembus hutan pedalaman Halmahera beberapa waktu yang lalu.
Selama sepekan lebih, sejak pemberangkatannya pada 17 -26 Juli 2017, Gerakan Peduli Masyarakat Pedalaman (GPMP) sukses melakukan misi “Ekspedisi Syahadat” ke pedalaman Halmahera, setelah melalui perjalanan yang sangat berat dan penuh tantangan.
Subhanallah, Tim Ekspedisi berhasil mensyahadatkan 10 orang suku Togutil. “Jumlah itu jauh dari perkiraan awal kami. Sebelumnya, suku Togutil yang akan bersyahadat akan mencapai lebih dari 10 orang. Penyebabnya, karea adanya provokasi terhadap suku pedalaman saat kami mendatanginya, sehingga mereka lari jauh ke dalam hutan,” kata Ketua Umum GPMP Devina Andiviaty kepada Panjimas, Selasa (31/7) kemarin.
Dalam misinya, Tim ekspedisi melakukan kegiatan syahadat dilanjutkan mengajari mereka bersuci (berwudhu dan mandi hadas besar). Saat berada di pedalaman Halmahera, tim ekspedisi betul-betul menyatu dengan alam, lalu bermalam, dan memasak pun ala suku Togutil. “Setelah bersyahadat, kami ajarkan dasar-dasar Islam kepada mereka. Termasuk memberikan pakaian, perlengkapan mandi dan bantuan sembako.”
“Perjalanan misi ekspedisi syahadat ini sangat berat dan penuh dengan tantangan. Karena kami tidak hanya ke satu titik lokasi rumah suku Togutil, tetapi menyebar per kepala keluarga, termasuk yang tidak mempunyai kepala suku. Untuk mencapai rumah-rumah mereka yang sederhana, kami harus naik turun bukit, bahkan melewati sungai yang dipenuhi buaya,” kata Devina menceritakan kisah rekan-rekannya.
Tim Ekspedisi Syahadat yang terdiri dari 5 orang ini, terdiri dari : Bob Shofwan, Ikhsan, Yanuar, Robby dan Aditya. Tim ini berbagi tugas. Bob Shofwan dan Ikhsan sebagai tim assesment dan koordinator di lapangan. Sedangkan, Yanuar, Robby dan Aditya mendokumentasikan misi Ekspedisi Syahadat ini.
“Tim Ekspedisi Syahadat ke Halmahera juga dibantu oleh para Da’i dari Hidayatullah yang berada di Ternate. Para ustadz inilah yang mensyahadatkan suku Togutil yang telah memeluk agama Islam. Sebelumnya, kami kumpulkan data awal untuk Program Rumah Suku Togutil,” jelas Devina.
Tak mudah misi Ekspedisi Syahadat dilakukan. Ada beberapa kendala dan tantangan yang mereka hadapi, mulai dari sinyal tak mendukung, hingga provokasi dari pihak yang tidak suka dengan misi ini.
“Kendala yang kami hadapi adalah provokasi dari pihak-pihak yang tidak bertanggung jawab. Padahal, tim relawan kami yang juga da’i pedalaman dari AMCF dan Hidayatullah sudah melakukan pendekatan beberapa kali pada suku Togutil. Bahkan mereka ingin menyatakan keinginannya untuk bersyahadat. Tapi saat tim ekspedisi mendatangi suku pedalaman tersebut, mereka malah takut dan lari ke hutan,” ungkap Devina.
Usut-punya usut, penyebab takut dan larinya sebagian suku Togutil lainnya, karena adanya provokasinya dari pihak tertentu, diduga kelompok misionaris yang ada disana. Suku Togutil yang ingin bersyahadat itu sepertinya diprovokasi dengan menakut-nakuti mereka untuk berhati-hati. Jika ada orang yang berjenggot, kalian akan dibunuh. Begitu provokasinya.
“Kendala lain yang kami hadapi adalah sulitnya transportasi menuju lokasi. Terlebih, beberapa lokasi hanya bisa ditempuh dengan jalur laut, sukan hingga menembus semak hutan belukar. Apabila hujan, maka sungai tersebut akan meluap dan tidak bisa dilewati.”
Devina menceritakan, perjalanan yang harus ditempuh untuk sampai ke desa terdekat suku Togutil, membutuh waktu satu hari. Perlu diketahi, kapal dari Tobelo menuju Patlean hanya dua kali dalam satu minggu.
“Sesampai di Desa Patlean, kami harus berjalan kaki lagi menuju titik pertama, yaitu Hutan Dowom. Lama perjalanan yang ditempuh kurang lebih 3 jam, itupun jika cuaca cerah. Jika hujan, maka waktu tempuh bisa lebih lama lagi. Untuk ke titik kedua di hutan Dokot-dokot, perjalanan yang d tempuh lebih jauh lagi.”
Tim Ekspedisi harus ke desa terdekat yaitu, SP 1 menggunakan jalur laut dan melewati sungai Nek-nek yang dipenuhi buaya. Waktu tempuh kurag lebih satu jam. Sesampainya di SP 1, tim ekspedisi melanjutkan perjalanannya dengan berjalan kaki kurang lebih satu jam perjalanan lagi.
Dari hutan Dokot-dokot menuju titik ketiga di daerah Tetukur Desa Pumlanga, jaraknya tak kalah jauh. Tim ekspedisi harus melewati sungai-sungai besar. Jika hujan deras, tidak bisa dilewati karena sungai banjir. Jarak tempuh kurang lebih tiga jam menggunakan motor roda tiga. “Alhamdulillah jalan bisa ditembus dengan kendaraan.”
Dikatakan Devina, sesungguhnya ekspedisi ini bukan yang pertama dan terakhir. Ekspedisi ini adalah bagian dari kewajiban kita sebagai muslim untuk mengajak saudara-saudaranya yang masih terbelakang untuk menemukan dan mencintai Allah. “Semoga menjadi bagian ikhtiar kami untuk mengumpulkan amal sholeh dan masuk ke dalam Jannah-Nya,” harap Devina.
Ketika ditanya, apa langkah GPMP selanjutnya setelah ekspedisi syahadat ini? Dikatakan Devina yang jebolan Daarut tauhiid ini, GPMP akan terus memperjuangkan upaya pembangunan rumah singgah muallaf suku Togutil di tanah wakaf kota Sofifi.
“Semua muallaf suku Togutil akan kami bina bersama AMCF dan Hidayatullah di rumah singgah tersebut. Setelah suku Togutil bersyahadat, kami akan membawanya k Ternate untuk binaan awal. Tapi, karena kendala tempat, beberapa orang suku kami kembalikan lagi ke dalam hutan. Hanya beberapa orang dari anak-anaknya yang tinggal di Ternate. Oleh sebab itu, rumah singgah ini harus segera diwujudkan,” tukas Devina penuh harap. (desastian)