ISTANBUL, (Panjimas.com) – Presiden Turki Recep Tayyip Erdogan menegaskan pada hari Senin (24/07) bahwa Israel menuju isolasi karena tindakan yang dilakukannya di kompleks Al-Aqsa di Yerusalem Timur.
“Menyatakan orang-orang Muslim yang datang untuk beribadah dengan teroris adalah hal sangat tak masuk akal,” kata Erdogan pada sebuah konferensi pers di Bandara Internasional Esenboga setelah kembali dari kunjungan dua hari ke kawasan Teluk.
Langkah-langkah yang mengabaikan hak-hak Muslim untuk beribadah dan mengabaikan kesucian Al-Aqsa meningkatkan ketegangan bahkan lebih dari itu, katanya.
“Israel, dengan mengabaikan peraturan hukum, tidak hanya merugikan dirinya sendiri tapi juga seluruh wilayah”, pungkas Erdogan.
Pernyataan Perdana Menteri Israel Benjamin Netanyahu bahwa apa yang dilakukan pihak berwenang di kompleks Al-Aqsa, adalah “benar”, bertentangan dengan kebebasan beragama dan deklarasi universal tentang hak asasi manusia, menurut Erdogan.
“Tidak ada sisi yang dapat diterima dari pernyataan Netanyahu,” tegasnya.
Sejak hari Ahad (16/07), Gelombang aksi Protes dimulai setelah pimpinan Masjid Al-Aqsa menyerukan umat Islam untuk memboikot kebijakan detektor logam baru yang dipasang di pintu masuk Masjid setelah baku tembak mematikan pekan lalu.
Aksi-aksi protes mulai bermunculan di sekeliling wilayah Masjid Al-Aqsa di Yerusalem ketika orang-orang yang terus berdatangan kemudian berkumpul di luar kompleks “Al-Haram Al-Sharif” itu.
Tindakan keamanan baru ini telah menyebabkan gelombang kemarahan di kalangan warga Palestina, yang meminta segera dihapuskannya kebijakan detektor logam
Israel berdalih membela langkah kontroversial tersebut, mengklaim bahwa hal itu tidak berbeda dengan tindakan pengamanan di tempat-tempat suci lainnya di seluruh dunia. Masjid Al-Aqsa adalah situs paling suci ketiga bagi umat Islam setelah Masjidil Haram di Mekah dan Masjid Nabawi Madinah.
Israel menduduki Yerusalem Timur selama Perang Timur Tengah tahun 1967. Israel kemudian mencaplok kota Yerusalem pada tahun 1980, mengklaim bahwa seluruh Yerusalem sebagai ibukota “abadi” negara Yahudi, namun langkah itu tidak pernah diakui oleh masyarakat internasional.[IZ]