BANDUNG, (Panjimas.com) – Bergulirnya Perppu No 2/2017 yang disampaikan pemerintah berapa waktu lalu masih mengundang pro kontra dan pertanyaan publik serta masyarakat luas. Tidak terkecuali dari para akedemisi dan ahli hukum yang ada di tanah air.
Salah satu yang ikut menyampaikan dan menyuarakan pendapatnya soal Perppu tersebut adalah seorang Ahli Hukum dari Universitas Padjajaran (Unpad) Prof. Dr. Atip Latiful Hayat. Dosen dari Unpad ini menyampaikan pendapatnya pada sebuah forum diskusi para pakar dan ahli hukum yang diadakan di Bandung berapa hari lalu.
Disorotinya kedaruratan pada hakikatnya adalah meniadakan larangan yang dengan itu mensyaratkan keterpaksaan dan sifat sementara. UUD 1945 mengenal dua jenis kedaruratan yaitu darurat karena perang sebagaimana dalam pasal 12, dan kedua adalah kedaruratan yang memberikan justifikasi bagi negara untuk membatalkan peraturan darurat yaitu dalam pasal 22 UUD 45.
“Keadaan darurat harus berdasarkan ukuran adanya bahaya nyata atau bahaya nyata atas ketertiban umum”, ucap Atip.
Atip mengingatkan bahwa fungsi Perppu adalah instrumen normalisasi agar keadaan genting yang terjadi dengan perppu ini bisa kembali normal dan terkendali, bukan sebaliknya.
Dalam konsideran Perppu ormas dinyatakan bahwa perppu ini lahir karena penilaian adanya ormas yang dianggap pemerintah menyimpang atau bertentangan dengan pancasila.
“Pertimbangan tersebut jelas menempatkan pemerintah sebagai pemilik hegemoni tafsir atas pancasila yang dengan ini rentan disalah gunakan. Seharusnya penilaian ini didasarkan pada putusan pengadilan,” tuturnya.
Prosedur pembentukan, substansi dan penerapan hukum harus tunduk kepada due procces of law.
Atip juga menilai Perppu ini pada faktanya cenderung ditujukan kepada ormas tertentu, khususnya ormas-ormas Islam. Dalam substansi pengaturannya dapat menimbulkan ketidakpastian hukum dan tindakan semena-mena dari pemerintah.
Atip juga menerangkan Perppu ormas menggunakan prinsip pembatasan HAM sebagaimana juga dianut oleh bangkok declaration 1993. Namun syarat pembatasannya yang tidak sesuai karena alasan yang digunakan bukan didasarkan kepada hal yang nyata melainkan hanya asumsi belaka.
Dalam penjelasan Perppu dikatakan bahwa penerbitan Perpu 2/2017 sesuai dengan pasal 4 ICCPR. Namun perppu ini tidak memperhatikan dua syarat agar memenuhi substansi kedaruratan yang memberikan wewenang kepada negara untuk melakukan pembatasan Hak Asasi Manusia (HAM).
“Dua syarat itu adalah : The situation must amount to publict emergency, wich treatens the life of nations. And, State party must have offically proclaimed a state of emergency,” pungkas Atif Latiful Hayat. [ES]