JAKARTA (Panjimas.com) – Sebagai komitmen nyata menjaga keutuhan NKRI, Pimpinan Pusat Persatuan Islam (PP Persis) melakukan langkah-langkah strategis guna menolak Perppu yang dinilai menjadi permasalahan bangsa Indonesia.
Upaya tersebut diantaranya dengan jalur konstitusional melalui gugatan Judicial Review Perppu ke Mahkamah Konstitusi. Selain itu Persis pun beraudiensi dengan pimpinan DPR RI, agar menolak Perppu tersebut menjadi Undang Undang.
Selain itu, PP Persis juga menggunakan proses edukasi masyarakat tentang apa dampak negatif yang akan muncul dari Perppu ini jika terus diberlakukan. Kelangsungan ormas-ormas Islam dan ormas lainnya yang dinilai subjektif oleh pemerintah yang berkuasa saat ini, konflik horizontal bisa saja terjadi.
Salah satu cara edukasi yang sudah ditempuh adalah dengan focus group discussion (FGD) dengan menghadirkan pakar pakar hukum di Kantor PP Persis pada hari Sabtu (22/07/17). Setelah dikaji secara objektif dan ilmiah, ternyata Perppu No 2/2017 menjadi murni problema hukum ketatanegaraan Indonesia, bukan masalah setuju atau tidak setuju pembubaran suatu ormas.
Dalam FGD tersebut, Dr. Indra Perwira, SH, MH. pakar hukum Tata Negara Unpad yang dihadirkan di acara itu menyampaikan beberapa poin poin penting catatannya.
Pertama, substansi pengaturan Perppu khususnya mengenai ketentuan pidana telah melanggar asas hukum pidana. “Tidak ada orang yang dapat dipidana tanpa perbuatan pidana. Perbuatan pidana tentunya adalah perbuatan yang konkrit objeknya perbuatannya dan akibatnya dijabarkan dalam pasal pidana”, ujarnya.
Indra juga mengkritisi frasa “dan lain lain” tidak diperbolehkan dalam legal drafting dikarenakan akan membuka peluang penafsiran sepihak oleh penegak hukum padahal pasal perundang-undangan harus berfrasa konkrit.
Indra pun melanjutkan, bahwa dalam Perppu diatur anggota dan atau pengurus ormas semuanya bisa dikenakan pidana. Hal ini dinilainya sebagai hal bertentangan dengan tujuan pemidanaan, harusnya bukan untuk memenjarakan dan memberikan nestapa tetapi untuk pembinaan.
Indra juga menyoal tentang kegentingan yang memaksa sebagai dasar menerbitkan perppu oleh Presiden adalah hegemoni waktu. Dalam hal terjadi suatu kejadian nyata yang memerlukan penanganan segera namun hukum yang ada belum mengatur penanganan segera tersebut.
Diungkapkan juga, bahwa konsep pemikiran sebuah ormas tidak bisa dikenakan sanksi sepanjang tidak terwujud dalam pergerakan yang merugikan bagi masyarakat.
Indra mengingatkan bahwa di Undang Undang 17/2013 ada tahapan dari teguran peringatan sampai pembekuan.
“Mekanisme tersebut masih bisa ditempuh pemerintah pada saat ini tanpa harus ada perppu dikarenakan tidak ada cear and present dangerous. Bahkan saat perppu diterbitkan sampai terbit surat pembubaran HTI, itu mengambil waktu berhari-hari yang dengan itu saja sudah menggugurkan dalih kegentingan yang memaksa”, ungkapnya.
Masih menurut Indra, jika merujuk undang-undang nomor 12 tahun 2011 Perppu tidak boleh memuat ketentuan sanksi pidana. Pihak DPR juga sudah seharusnya melakukan sidang untuk merespon kegentingan yang memaksa seperti yang ada di dalam Perppu tersebut. [ES]