JAKARTA (Panjimas.com) – Menanggapi disahkannya RUU Pemilu melalui Sidang Paripurna DPR, serta pernyataan Presiden Joko Widodo, bahwa pihak yang merasa tidak puas dengan Undang-undang Pemilu yang disahkan dipersilakan melakukan langkah hukum, merupakan bentuk arogansi Pembuat Undang-undang dalam hal ini DPR dan Pemerintah.
Demikian Komite Independen Pemantau Pemilu (KIPP) Indonesia menyikapi UU Pemilu dalam siaran persnya, Senin (24/7).
Dikatakan Plt Sekjend KIPP Indonesia, Kakak Suminta, ada beberapa catatan KIPP Indonesia dalam hal ini adalah:
Pertama, pembahasan RUU Pemilu antara DPR dan Pemerintah merupakan pembahasan yang bertele-tele dan tak mengindahkan kepentingan yang lebih besar selain kepentingan politik pembuat Undang-undang, sehingga baik isi maupun agendanya menjadi tidak memenuhi kepentingan Pemilu dan Demokrasi di Indonesia.
Kedua, dari sisi waktu pengesahan UU tersebut telah kadaluarsa, sehingga beberapa agenda penting, seperti rekrutmen penyelenggara Pemilu dan verifikasi Parpol peserta Pemilu tidak dilaksanakan melalui UU Pemilu yang baru, tetapi dilaksanakan dengan menggunakan UU lama, yang sudah tidak sesuai dengan kebutuhan dan kondisi politik saat ini.
Ketiga, dari sisi konten UU, banyak pasal yang krusial dan penting tetapi tidak dibahas dengan seksama, seperti soal peran serta masyarakat dalam pemilu, soal politik uang, soal sosial media yang sebenarnya sudah dirasakan menjadi permasalahan serius dalam Pemilu tak dibahas dengan baik, dan tak memberikan alternatif Perbaikan dalam Pemilu dan demokrasi di Indonesia.
Keempat, apa yang disebut isu krusial oleh para pembuat undang-undang seperti soal daerah pemilihan, penambahan kursi DPR dan Presidential threshold tak lain merupakan tarik-menarik kepentingan politik Parpol dalam pelaksanaan Pemilu, yang tak terkait langsung dengan kepentingan umum, namun memakan waktu dan energi yang sangat besar, dan memboroskan sumberdaya.
“Disahkannya ambang batas Presiden threshold merupakan pasal yang paling bermasalah, karena jelas-jelas bertentangan dengan keputusan MK Nomor 14 tahun 2013, sehingga bukan hanya inkonstitusional tetapi juga sebanarnya tak layak dibahas oleh DPR dan Pemerintah sejak awal.”
Memperhatikan hal-hal tersebut di atas, maka KIPP Indonesia menilai, pembahasan RUU Pemilu merupakan pemborosan waktu dan sumberdaya, dengan hasil yang sangat mengecewakan, sehingga kita perlu mengevaluasi batasan kewenangan pembuat Undang-undang.
UU pemilu yang terbentuk merupakan UU yang kadaluars, karena tak bisa digunakan untuk pelaksanakan tahapan-tahapan Pemilu yang sudah dan sedang berlangsung.
Pemerintah dan DRP perlu diminta pertangguangjawabannya terkait potensi buruk pelaksanaan dan kesinambungan demokrasi melalui apa yang mereka lakukan sebagai pembuat Undang-undang.
“Pembentukan UU pemilu dan pernyataan pemerintah merupakan arogansi kekuasaan dan potensial mengganggu masa depan demokrasi di Indonesia. Meminta kepada semua pihak yang peduli dengan demokrasi dan masa depan Indonesia untuk memikirkan agenda dan langkah untuk menyelamatkan demokrasi Indonesia.” (desastian)