YANGON (Panjimas.com) — Penerapan Hak asasi manusia semakin memburuk di negara bagian Rakhine, Myanmar Barat, setelah sebuah tindakan keras militer selama empat bulan lamanya, ujar seorang Utusan PBB, Jumat (21/07), seperti dilansir Anadolu.
“Situasi umum untuk Muslim Rohingya hampir tidak membaik sejak kunjungan terakhir saya di bulan Januari, dan semakin rumit di Utara Rakhine,” kata Yanghee Lee, Pelapor Khusus PBB untuk hak asasi manusia di Myanmar, pada akhir kunjungan 12 harinya dalam rangka pengumpulan informasi.
“Saya terus menerima laporan pelanggaran yang diduga dilakukan oleh aparat keamanan selama operasi,” pungkasnya.
Pasukan keamanan melancarkan operasi militer selama empat bulan di negara bagian Rakhine yang bermasalah, di mana umat Islam dan Budha sering terlibat dalam kekerasan, setelah sebuah kelompok militan membunuh sembilan polisi di Kotapraja Maungdaw pada Oktober tahun lalu.
Menurut United Nations Office for the Coordination of Humanitarian Affairs, Kantor PBB untuk Koordinasi Urusan Kemanusiaan (Myanmar), lebih dari 70.000 Muslim Rohingya terpaksa melarikan diri dari wilayah Maungdaw sejak militer memulai operasi DOM (Daerah Operasi Militer) Oktober lalu setelah kematian sembilan petugas polisi dalam serangan terhadap pos-pos perbatasan.
Selama operasi tersebut, PBB dan kelompok hak asasi manusia telah mendokumentasikan pelanggaran-pelanggaran yang meluas oleh aparat keamanan seperti pembunuhan – termasuk anak-anak dan bayi – pemerkosaan perempuan rohingya, pemukulan brutal, pembakaran desa-desa muslim dan penculikan.
Pemerintah mengatakan setidaknya 106 orang tewas akibat operasi militer tersebut namun kelompok muslim Rohingya mengatakan sekitar 400 muslim Rohingya dibunuh.
Meskipun etnis Rohingya telah tinggal selama beberapa generasi di Rakhine, status kewarganegaraan etnis Rohingya dengan undang-undang kewarganegaraan yang diberlakukan pada tahun 1982 dan pemerintah juga membatasi hak-hak dasar seperti kebebasan bergerak.Selama operasi yang berakhir pertengahan April, kelompok bantuan dan media dicegah memasuki kawasan ini.
Lee mengatakan bahwa setelah operasi militer tersebut, Muslim Rohingya diserang oleh penyerang tidak dikenal karena mereka berniat mengajukan hak kewarganegaraan.
Tolak Beri Akses Tim Pencarian Fakta “TPF”
Demikian juga, beberapa administrator desa dan Muslim lainnya diserang karena bekerja dengan pemerintah negara bagian, ujarnya.
“Ini membuat banyak warga sipil Rohingya ketakutan, dan sering terjebak di antara kekerasan di kedua sisi,” kata Lee.
Angka pemerintah menunjukkan 34 warga sipil Rohingya terbunuh dan 22 lainnya diculik oleh militan sejak Oktober lalu.
Lee mengatakan pemerintah yang dipimpin oleh Penasihat Negara Aung San Suu Kyi telah menolak permintaan pemberian akses untuk mengunjungi beberapa tempat di negara bagian Shan Timur dan negara bagian Kayin Tenggara, sehingga hal itu dapat menghambat penyelidikannya.
“Saya baru saja bisa mengunjungi Lashio di negara bagian Shan dan Hpa-An di negara Kayin,” pungkasnya, Lee menambahkan, individu yang dia wawancarai terus menghadapi intimidasi, termasuk difoto dan ditanyai sebelum dan sesudah pertemuan.
Ribuan penduduk Rohingya terpaksa mengungsi ke negara bagian Shan, saat pertempuran meletus antara tentara pemerintah dan kelompok bersenjata, sejak pemerintah sekarang mulai berkuasa Maret lalu.
Lee mengatakan komunitas Rakhine di Kayuk Pyu dari negara bagian Rakhine – di mana pemerintah melaksanakan proyek Zona Ekonomi Khusus – juga menghadapi penyitaan tanah, dengan tanpa konsultasi ataupun pemberian kompensasi.
Pemerintah telah menolak masuk ke tim pencari fakta PBB yang menyelidiki tuduhan pembunuhan, pemerkosaan dan penyiksaan oleh pasukan keamanan terhadap Muslim Rohingya selama operasi keamanan empat bulan di wilayah Maungdaw di bagian Utara Rakhine.
Tim misi pencarian fakta dibentuk oleh Dewan Hak Asasi Manusia PBB setelah sebuah laporan PBB yang dikeluarkan pada bulan Februari menemukan pelanggaran hak asasi manusia yang meluas oleh pasukan keamanan di Rakhine.
Lee mendesak pemerintah Myanmar untuk mengizinkan tim pencari fakta untuk memulai penyelidikannya, dan mengatakan bahwa dia menyampaikan pesan tersebut kepada Suu Kyi dalam sebuah pertemuan baru-baru ini yang dia hadiri bersamanya di ibukota Naypyidaw.
Penindasan Rohingya Terstruktur dan Sistematis
Pelapor khusus HAM PBB di Myanmar, Yanghee Lee, pada Jumat (20/01/2017) mengatakan bahwa pemberontakan bersenjata di negara bagian Rakhine disebabkan karena diskriminasi selama beberapa dekade lamanya yang dilembagakan, tersturktur dan sistematis terhadap Muslim Rohingya.
Undang-Undang tahun 1982 menolak hak-hak etnis Rohingya – banyak di antara mereka telah tinggal di Myanmar selama beberapa generasi, namun hak kewarganegaraan mereka tak diakui, status mereka stateless [tanpa negara]. Situasi ini juga menghilangkan kebebasan Rohingya bergerak, dari akses pendidikan hingga layanan kesehatan yang sangat minim, bahkan otoritas Myanmar terus melakukan penyitaan sewenang-wenang terhadap properti milik mereka.
Diperkirakan 1,1 juta Muslim Rohingya tinggal di Rakhine, di mana mereka dianiaya, dan menjadi minoritas etnis tanpa negara. Pemerintah Myanmar secara resmi tidak mengakui Rohingya, menyebut mereka imigran Bengali sebagai imigran ilegal, meskipun ketika dilacak akar sejarahnya, etnis Rohingya telah lama hidup dan tinggal di Myanmar selama beberapa generasi.
Minoritas Etnis Paling Tertindas
John McKissick, seorang pejabat Badan pengungsi PBB yang berbasis di Bangladesh, mengatakan etnis Rohingya adalah “minoritas etnis yang paling tertindas di dunia.”
Bahkan sebuah rencana Kepolisian akhir tahun lalu mengumumkan untuk mempersenjatai dan melatih kekuatan sipil para warga non-Muslim dari Arakan, dan hal ini cenderung meningkatkan ketegangan sektarian.
Kekerasan sangat mempengaruhi Muslim Rohingya. Sekitar 100.000 masih hidup dalam keterbatasan di tempat-tempat kumuh di mana mereka dilarang pergerakannya, dibatasi aksesnya terhadap pendidikan dan kesehatan. Puluhan ribu Rohingya telah melarikan diri dengan perahu, banyak dari mereka meregang nyawa di lautan yang berbahaya.
Muslim Rohingya telah melarikan diri dari Myanmar sejak pertengahan 2012 setelah kekerasan komunal pecah di Rakhine antara etnis Rakhine Buddha dan Muslim Rohingya, menewaskan lebih dari 100 orang dan memaksa sekitar 140.000 Muslim Rohingya mengungsi.
Menurut perhitungan lainnya, Kekerasan tahun 2012 tersebut membuat sekitar 57 Muslim dan 31 Buddha tewas, sekitar 100.000 korban lainnya mengungsi di kamp-kamp dan lebih dari 2.500 rumah dihancurkan -. yang sebagian besar milik Muslim Rohingya
Laporan-laporan penargetan disengaja dan pembunuhan tanpa pandang bulu serta penangkapan warga sipil Rohingya, penghancuran rumah-rumah dan bangunan keagamaan, juga pelecehan sesual pada perempuan Rohingya oleh pasukan militer harus diselidiki sepenuhnya oleh masyarakat internasional, karena tindakan-tindakan itu sama saja dengan kejahatan terhadap kemanusiaan.[IZ]