YERUSALEM (Panjimas.com) — Antara suara-suara dzikir, lantunan ayat suci Al-Quran, gema takbir, sekaligus nyanyian protes dan suara letupan granat asap, menjadi latar suara gerakan aksi protes warga Palestina yang terorganisir.
Aksi-aksi protes mulai bermunculan di sekeliling wilayah Masjid Al-Aqsa di Yerusalem ketika orang-orang yang terus berdatangan kemudian berkumpul di luar kompleks “Al-Haram Al-Sharif” itu.
Pastor Kristen setempat bahkan bergabung dengan para Imam Masjid Al-Aqsha pada hari Selasa (18/07) dalam memimpin
ribuan jamaah ke perimeter Masjid, di mana mereka menunaikan sholat Maghrib berjamaah dan menghabiskan malam disana, sebagai bentuk protes terhadap kebijakan detektor logam baru yang dipasang di gerbang kompleks Masjid Al-Aqsha.
Kerumunan massa terus berdatangan selama beberapa jam saat aksi demonstrasi dan doa-doa serta sholat berjamaah yang dipimpin langsung oleh para Imam Masjid Al-Aqsha tanpa ada konfrontasi dengan pasukan keamanan Israel sampai mereka tampak menanggapi dengan botol-botol yang dilemparkan ke arah mereka.
Bulan Sabit Merah Palestina, “Palestinian Red Crescent” mengatakan 34 orang terluka akibat bentrokan yang terjadi saat polisi memaksa umat Islam tersebut pergi dari area Al-Aqsha, termasuk mantan Grand Mufti Yerusalem Sheikh Ikrema Sabri yang terluka akibat tembakan peluru karet.
“Kami tidak akan masuk melalui pintu gerbang Zionis, kami akan masuk melalui gerbang Allah,” teriak seorang pengunjuk rasa di Lions Gate [Gerbang Singa], mengutip laporan Anadolu.
Ofer Zalzberg, seorang analis keamanan untuk kelompok think tank Crisis Group, mengatakan kepada Anadolu bahwa aksi demonstrasi tersebut berbeda dengan bentrokan antara pemuda Palestina dan pasukan keamanan Israel pada tahun 2015, aksi ini lebih keras tetapi melibatkan lebih sedikit orang.
“Sekarang kita melihat sesuatu yang sangat berbeda, kita melihat mobilisasi penduduk Yerusalem Timur yang semakin besar dalam demonstrasi tanpa kekerasan melawan tindakan yang mereka benci,” ujarnya.
“Ini luar biasa dengan latar belakang 17 tahun sekarang, bahwa Israel memiliki kebijakan untuk mencegah munculnya aktivitas politik terorganisir oleh orang-orang Palestina di Yerusalem Timur”, imbuhnya.
Zalzberg menambahkan “Yerusalem Timur dalam banyak hal adalah tanpa pemimpin, namun kita melihat sentuhan Arab di kota dapat mengumpulkan tindakan kolektif.”
Israel telah mempertahankan kebijakan penggunaan detektor logam baru yang kontroversial, yang dipasang sebagai tanggapan atas baku tembak mematikan di dalam Masjid pada hari Jumat (14/07), mengklaim bahwa hal itu tidak berbeda dengan tindakan pengamanan di tempat-tempat keagamaan lainnya.
Namun, warga Palestina menuduh Israel mencoba mengubah “status quo” – keseimbangan kesempatan sholat dan hak kunjungan ke Al-Aqsa – dengan memaksakan operasi perburuan para jamaah muslim.
Mantan Grand Mufti Yerusalem Sheikh Ikrema Sabri mendukung aksi demonstrasi umat Muslim Palestina, yang menggelar sholat berjamaah di luar gerbang Masjid sejak detektor logam dipasang di lokasi tersebut.
Kebuntuan dimulai pada hari Ahad (16/07), ketika Masjid Al-Aqsa dibuka kembali setelah penutupan 2 hari yang belum pernah terjadi sebelumnya yang diberlakukan untuk menanggapi baku tembak mematikan, menurut klaim Polisi Israel adalah untuk mencari senjata apa pun di dalam kompleks Masjid.
Sheikh Ikrema Sabri, yang juga merupakan Imam Senior Masjid Al-Aqsa, bergabung dengan para pejabat senior Takmir Masjid Al-Aqsa lainnya untuk menyerukan agar warga Palestina tidak melewati detektor-detektor logam Israel.”Pahala untuk siapa saja yang sholat di pos pemeriksaan, akan seperti pahala untuk sholat di dalam Al-Aqsa,” pungkasnya.
“Dengan menolak masuk melalui detektor logam kami akan menunjukkan bahwa kami menolak tindakan apa pun oleh otoritas pendudukan [Israel], yang tidak memiliki hak untuk mengubah status quo”, dikutip dari Anadolu Ajensi.
Sheikh Ikrema Sabri mengklaim detektor logam tersebut merupakan usaha terbaru oleh Israel untuk mengubah keseimbangan kesempatan sholat dan hak kunjungan ke Masjid, yang dikenal sebagai status quo..
Pengaturan berpuluh-puluh tahun hanya memungkinkan umat Islam untuk sholat di lokasi, yang dikelola oleh sebuah Yayasan Islam yang diawasi oleh Yordania.
Faksi terkemuka di Otoritas Palestina (PA), Fatah, telah menyerukan “Hari Kemarahan” [‘Day of Anger’] di Tepi Barat yang diduduki pada hari Rabu (19/07), meskipun banyak suara protes para demonstran Selasa malam yang ditujukan terhadap Otoritas Palestina (PA) itu sendiri.
Aksi protes meningkat setiap harinya sejak Al-Aqsa dibuka kembali pada hari Ahad (16/07) setelah penutupan dua hari sebelumnya Jumat (14/07).[IZ]