JAKARTA (Panjimas.com) – Sidang uji materi Undang-undang Nomor 33 Tahun 2014 Tentang Jaminan Produk Halal (UU JPH) bergulir di Mahkamah Konstitusi (MK), Jakarta. Pemohon uji materi UU Jaminan Produk Halal (JPH) adalah Paustinus Siburian, seorang advokat yang tinggal di Jakarta. Dia mengajukan uji materi karena menilai UU JPH tidak memberikan pembatasan-pembatasan mengenai halal tidaknya suatu produk, baik menyangkut bahan maupun proses produksi.
Dalam uji materi ini, Lembaga Advokasi Halal atau Indonesia Halal Watch (IHW) bertindak sebagai pihak terkait bersama pihak termohon, pemerintah dan DPR. Dalam sidang yang digelar Senin (29/5/2017) kemarin, IHW menyampaikan pandangannya tentang makanan dan produk halal. Sidang akan dilanjutkan pada Kamis (15/6/2017) mendatang dengan agenda mendengarkan keterangan saksi dan Ahli dari IHW.
Direktur Eksekutif IHW, Ikhsan Abdullah mengatakan, pihak pemohon dinilai keliru dalam menafsirkan UU JPH. Karena UU JPH dimaksudkan untuk produk barang dan jasa yang halal. Sehingga masyarakat khususnya umat Islam bisa terbebas dari mengkonsumsi makanan dan produk yang tidak halal Makanan dan produk halal sudah menjadi gaya hidup (Life Styl) masa kini
Produk barang dan jasa yang tidak halal pun boleh beredar di Indonesia, hanya saja untuk produk barang dan jasa yang halal akan diberi labelisasi “halal” dan yg tidak halal diberi tanda “tidak halal” sehingga konsumen jelas ujar Ikhsan dan Undang2 menuntut kejujuran produsen
Ikhsan menilai, kekhawatiran pemohon yang didasari oleh pemikiran bahwa UU JPH seolah-olah menganut mandatory halal adalah keliru. Menurut dia, UU JPH tidak menganut mandatory halal, melainkan menganut mandatory sertifikasi halal yang diikuti dengan proses labelisasi halal, atau dengan kata lain produk halal wajib mencantumkan label halal.
Ikhsan Abdullah yang juga Candidat Doktor Ilmu Hukum Universitas Negeri Jember berpendapat, mandatory halal, yaitu semua produk barang dan jasa yang beredar di Indonesia wajib harus halal. “Di sinilah Pemohon gagal faham Sedangkan produk yang memiliki kandungan haram dari awal, harus diberikan labelisasi tidak halal, sehingga memberikan kejelasan dan kepastian bagi konsumen,” tuturnya.
Ikhsan menegaskan, masalah produk halal ini sebenarnya sudah lama dibahas dan diperdebatkan secara panjang dan lama oleh para anggota Dewan yang menolak. Perdebatan di DPR cukup panjang sehingga memakan waktu 10 tahun. Perdebatan juga menyangkut bukan hanya makanan tapi juga produk yang beredar di masyarakat.
“Pemohon beranggapan yang keliru, seakan setelah berlakunya UU JPH maka yang boleh beredar di wilayah Indonesia hanyalah produk makanan dan minuman yang halal-halal saja, sementara makanan dan minuman yang tidak halal tidak boleh beredar sama sekali,” tuturnya.
Indonesia Halal Watch sebagai Pihak Terkait dalam persidangan hari ini menghadirkan juga Saksi Ahli : Dr. Ir Lukmanul Hakim, MSi Direktur LPPOMMUI 2. Dr. Yanis Musdja MSC Halal Center UIN Syarif Hidayatulloh Ciputat Dan Prof. Dr. Abdul Rahman Apt. dari Pusat Kajian Halal UGM. (edy)