BERLIN (Panjimas.com)— Seorang Hakim Jerman baru-baru ini membuat keputusan kontroversial setelah Ia melarang seorang perempuan Suriah mengenakan jilbab di pengadilan saat proses perceraian terhadap suaminya, mengutip laporan media setempat, Selasa (18/07).
Pengacara perempuan Najat Abokal mengatakan kepada Harian Tagesspiegel bahwa Hakim di kota Luckenwalde bagian Timur,
mengirimkan sebuah surat kepada kliennya yang mengatakan bahwa pernyataan bermotif agama seperti mengenakan jilbab tidak akan diizinkan dalam persidangan.
Surat Hakim tersebut juga memperingatkan muslimah itu bahwa dia akan menghadapi tuntutan hukum jika dia tidak mematuhi instruksi ini selama persidangan yang dijadwalkan pada tanggal 27 Juli mendatang, jelas pengacara tersebut.
Sementara itu, Roswitha Neumaier, Direktur Pengadilan Distrik, mengatakan bahwa persidangan tersebut telah ditunda karena keberatan tersebut.
The Federal Constitutional Court ruled in 2006 that people present as spectators could not be expelled from a court proceeding because they were wearing a headscarf.[world bulletin]
Di Jerman, kini tinggal 4,7 juta penduduk Muslim, dan kebebasan beragama dilindungi oleh Undang-Undang Dasar.
Beberapa negara bagian Jerman melarang pegawai publik seperti guru, polisi, hakim atau jaksa untuk mengenakan pakaian dan simbol keagamaan saat bertugas.
Namun, tidak ada undang-undang yang melarang warga mengenakan jilbab atau simbol keagamaan lainnya saat berada di institusi publik.Pengadilan Konstitusional Federal memutuskan pada tahun 2006 bahwa orang-orang yang hadir dalam persidangan sebagai penonton tidak dapat dikeluarkan dari pengadilan karena mereka mengenakan jilbab.
Muslimah Jerman Di-diskiminasi
Muslimah yang mengenakan jilbab mengalami berbagai bentuk diskriminasi di Jerman, namun seringkali mereka tidak mengajukan keluhan, demikian pernyataan Ketua Badan Anti-Diskriminasi Federal, Federal Anti-Discrimination Agency (ADS), bulan Mei lalu.
Dalam sebuah wawancara dengan Anadolu, Christine Lueders mengatakan bahwa perempuan berjilbab sering menghadapi diskriminasi di pasar tenaga kerja, di klub-klub kebugaran atau saat mereka menyewa apartemen.
“Banyak orang tidak tahu bahwa di Jerman dilarang mengenakan selimut dengan jilbab,” pungkasnya, Lueders menambahkan bahwa ruang klub kebugaran atau para pekerjanya tidak dapat mengenakan larangan semacam itu bagi individu yang memakai simbol agama.
Menurut Lueders, Badan Anti-Diskriminasi Federal menerima lebih dari 21.000 keluhan diskriminasi sejak 2016, namun hanya 300 di antaranya yang diajukan oleh para perempuan muslim yang mengenakan jilbab.“Tapi statistik ini tidak banyak bicara tentang angka sebenarnya,” tandasnya.
“Secara umum, ketika kita berbicara tentang diskriminasi, selalu ada sejumlah kasus yang tidak dilaporkan. Karena banyak orang menghadapi diskriminasi atau bhakan tidak tahu di mana mereka bisa mendapatkan dukungan,” imbuhnya.
Di Jerman, di mana hampir 4,7 juta Muslim hidup, kebebasan beragama dilindungi oleh Konstitusi Jerman.
Namun, perempuan Muslim yang memakai jilbab telah menghadapi tingkat diskriminasi yang meningkat pesat dalam beberapa tahun terakhir di tengah meningkatnya sentimen anti-Muslim, hal ini dipicu oleh propaganda dari partai-partai sayap kanan dan partai populis yang telah mengeksploitasi krisis pengungsi dan mengkampanyekan gerakan anti-Islam.
Sementara itu Jerman, tidak seperti Prancis, yang tidak memiliki peraturan ketat yang melarang penggunaan simbol-simbol keagamaan di ruang publik, sebuah keputusan baru-baru ini di Pengadilan Uni Eropa mengizinkan para pengusaha melarang pekerja mereka untuk mengenakan simbol agama apapun, termasuk jilbab.
“Saya mengambil pandangan yang sangat kritis mengenai keputusan ini dan saya berharap agar pengusaha tidak melakukan hal itu [melarang jilbab],” kata Lueders,
Lebih lanjut Ketua Federal Anti-Discrimination Agency (ADS) itu menekankan bahwa bagi pengusaha, kualifikasi pelamar kerja harus menjadi faktor penentu, bukan penampilan atau afiliasi keagamaan mereka.
Dia juga menggarisbawahi bahwa dengan memiliki tim multikultural dan beragam merupakan hal yang baik demi kepentingan pengusaha.
Pejabat tinggi anti-diskriminasi Jerman juga telah mengkritik beberapa negara bagian Jerman, yang masih menolak untuk memberikanpekerjaan kepada guru-guru perempuan Muslim yang mengenakan jilbab, selain melarang simbol-simbol keagamaan lainnya.
“Saya melihat ada masalah di sini di Jerman Mengapa guru tidak mungkin memakai kippah, salib atau jilbab?” tegasnya.
Pada tahun 2015, sebuah keputusan utama Pengadilan Konstitusional Jerman membatalkan sebuah “larangan umum” terhadap para guru yang memakai jilbab, dan memutuskan bahwa larangan semacam itu hanya dapat diberlakukan jika jilbab seorang guru menciptakan sebuah kontroversi, dan mengancam lingkungan damai di sebuah sekolah.
Meskipun demikian, sejumlah negara bagian Jerman, seperti Hamburg, Schleswig-Holstein dan Berlin, enggan membiarkan guru-guru memakai jilbab, dengan dalih mengutip ketentuan “undang-undang netralitas” mereka.
Meskipun beberapa negara bagian di Jerman masih melarang jilbab untuk guru-guru, tidak ada undang-undang yang melarang siswa perempuan Muslim melakukannya di sekolah menengah ataupun universitas.[IZ]