JAKARTA (Panjimas.com) – Kemenhumkan dengan resmi telah mencabut status badan hukum Hizbut Tahrir Indonesia (HTI) disertai dengan pembubaran ormas yang berstatus badan hukum perkumpulan atau vereneging itu.
Kewenangan Pemerintah, dalam hal ini Menkumham, mencabut status badan hukum dan sekaligus membubarkan ormas tanpa proses peradilan, adalah kewenangan yang diberikan oleh Perpu No. 2 Tahun 2017 yang kontroversial itu.
“Saya sejak awal mengatakan bahwa Perpu ini membuka peluang bagi Pemerintah menjadi diktator. Pemerintah secara sepihak berwenang membubarkan ormas tanpa hak membela diri dan tanpa “due process of law” atau proses penegakan hukum dan adil dan benar sesuai asas negara hukum yang kita anut,” kata Pakar Tata Negara Yusril Ihza Mahendra dalam keterangan persnya, Kamis (20/7).
Pemerintah sebagaimana berulangkali ditegaskan oleh Menko Polhukam Wiranto, telah dengan sesat pikir menerapkan asas “contrarius actus” dalam hukum Romawi ke hukum nasional kita. Dengan asas itu, menurut Menko Polhukam, Pemerintah yang berwenang “menerbitkan izin” berdirinya ormas, maka dengan sendirinya berwenang pula mencabut “izin” tersebut. Padahal mendirikan ormas bukanlah sesuatu yang perlu izin Pemerintah.
Menurut Yusril, SK Menhumkan tentang pengesahan berdirinya sebuah badan hukum, sama sekali bukan surat izin seperti Surat Izin Mengemudi yang dikeluarkan Polisi. Izin, dikeluarkan agar seseorang boleh melakukan sesuatu yang dilarang. Mengemudi di jalan raya itu prinsipnya dilarang karena bisa membahayakan orang lain. Namun, seseorang boleh melanggar larangan itu, kalau dia punya Surat Izin yang disebut SIM itu.
“Kebebasan berserikat dan berkumpul bukanlah sesuatu yang dilarang seperti mengemudi di jalan raya, melainkan adalah hak konstitusional yang dijamin oleh UUD 45. Karena itu, SK Menkumham tentang pengesahan badan hukum ormas yang didirikan, bukanlah surat izin sebagaimana dengan sesatnya dipahami oleh Menko Polhukam,” ungkap Yusril.
Dalam dialog ILC di TVOne, salah satu pendukung Pepu No. 2 Tahun 2017 ini, Prof Dr T Mulya Lubis membantah pendapat Yusril bahwa Pemerintah ini bisa bertindak laksana diktator dalam membubarkan ormas. Dalam dunia yang makin terbuka ini, tidak mungkin Pemerintah bisa jadi diktator, kata Mulya Lubis.
“Saya hanya mengatakan kepada T Mulya Lubis “anda lihat saja besok, HTI dibubarkan sepihak atau tidak oleh Pemerintah”. Mulya Lubis bilang “masa, gak mungkinlah”. Pagi ini mudah-mudahan Mulya Lubis bangun dari siuman dan mulai menyadari pahit getirnya demokrasi di bawah Pemerintahan Presiden Jokowi ini,” tegas Yusril.
Pembubaran terhadap HTI sudah dapat kita duga alasannya. Ormas ini dianggap “menganut, mengembangkan, serta menyebarkan ajaran atau paham yang bertentangan dengan Pancasila” sebagaimana diatur dalam Pasal 59 ayat 4 huruf c Perpu. Pelanggaran terhadap pasal ini dijatuhi sanksi administratif dan/atau pidana sebagaimana diatur dalam Pasal 60 ayat (2) huruf a jo Pasal 61 ayat (1) huruf c jo ayat (3) huruf b. (desastian)