NEW YORK, (Panjimas.com) – Duta Besar AS untuk PBB baru-baru ini kembali mendesak Myanmar untuk membatalkan keputusannya untuk menolak visa tim investigasi PBB.
Pada tanggal 30 Juni, Myanmar mengumumkan akan menolak visa untuk anggota misi Tim Pencarian Fakta (TPF), yang dibentuk oleh Dewan Hak Asasi Manusia awal tahun ini, untuk menyelidiki pelanggaran-pelanggaran HAM oleh pasukan keamanan Myanmar.
Duta Besar AS untuk PBB Nikki Haley mendesak Myanmar – menggunakan nama sebelumnya, Burma – untuk mengubah arah, dengan mengatakan: “adalah penting bahwa pemerintah Burma mengizinkan misi tim pencarian fakta ini untuk melakukan tugasnya. Masyarakat internasional tidak dapat mengabaikan apa yang sedang terjadi di Burma – kita harus berdiri bersama dan meminta pemerintah untuk sepenuhnya bekerja sama dengan misi pencarian fakta ini”, mengutip laporan Anadolu Ajensi
Dalam pernyataanya Nikki Haley menambahkan: “Kekerasan di negara bagian Rakhine terhadap komunitas etnis dan agama terus merenggut kehidupan. Selain itu, ada dugaan kekerasan seksual terhadap perempuan dan anak-anak. Jumlah korban tidak akan diketahui kecuali misi tim pencarian fakta diperbolehkan untuk dilanjutkan.”
“Namun, PBB memperkirakan bahwa lebih dari 90.000 penduduk Muslim Rohingya terpaksa meninggalkan rumah-rumah mereka di negara bagian Rakhine utara sejak Oktober lalu”, pungkasnya.
Penindasan Rohingya Terstruktur dan Sistematis
Pelapor khusus HAM PBB di Myanmar, Yanghee Lee, pada Jumat (20/01/2017) mengatakan bahwa pemberontakan bersenjata di negara bagian Rakhine disebabkan karena diskriminasi selama beberapa dekade lamanya yang dilembagakan, tersturktur dan sistematis terhadap Muslim Rohingya.
Undang-Undang tahun 1982 menolak hak-hak etnis Rohingya – banyak di antara mereka telah tinggal di Myanmar selama beberapa generasi, namun hak kewarganegaraan mereka tak diakui, status mereka stateless [tanpa negara]. Situasi ini juga menghilangkan kebebasan Rohingya bergerak, dari akses pendidikan hingga layanan kesehatan yang sangat minim, bahkan otoritas Myanmar terus melakukan penyitaan sewenang-wenang terhadap properti milik mereka.
Diperkirakan 1,1 juta Muslim Rohingya tinggal di Rakhine, di mana mereka dianiaya, dan menjadi minoritas etnis tanpa negara. Pemerintah Myanmar secara resmi tidak mengakui Rohingya, menyebut mereka imigran Bengali sebagai imigran ilegal, meskipun ketika dilacak akar sejarahnya, etnis Rohingya telah lama hidup dan tinggal di Myanmar selama beberapa generasi.
Minoritas Etnis Paling Tertindas
John McKissick, seorang pejabat Badan pengungsi PBB yang berbasis di Bangladesh, mengatakan etnis Rohingya adalah “minoritas etnis yang paling tertindas di dunia.”
Bahkan sebuah rencana Kepolisian akhir tahun lalu mengumumkan untuk mempersenjatai dan melatih kekuatan sipil para warga non-Muslim dari Arakan, dan hal ini cenderung meningkatkan ketegangan sektarian.
Kekerasan sangat mempengaruhi Muslim Rohingya. Sekitar 100.000 masih hidup dalam keterbatasan di tempat-tempat kumuh di mana mereka dilarang pergerakannya, dibatasi aksesnya terhadap pendidikan dan kesehatan. Puluhan ribu Rohingya telah melarikan diri dengan perahu, banyak dari mereka meregang nyawa di lautan yang berbahaya.
Muslim Rohingya telah melarikan diri dari Myanmar sejak pertengahan 2012 setelah kekerasan komunal pecah di Rakhine antara etnis Rakhine Buddha dan Muslim Rohingya, menewaskan lebih dari 100 orang dan memaksa sekitar 140.000 Muslim Rohingya mengungsi.
Menurut perhitungan lainnya, Kekerasan tahun 2012 tersebut membuat sekitar 57 Muslim dan 31 Buddha tewas, sekitar 100.000 korban lainnya mengungsi di kamp-kamp dan lebih dari 2.500 rumah dihancurkan -. yang sebagian besar milik Muslim Rohingya
Laporan-laporan penargetan disengaja dan pembunuhan tanpa pandang bulu serta penangkapan warga sipil Rohingya, penghancuran rumah-rumah dan bangunan keagamaan, juga pelecehan sesual pada perempuan Rohingya oleh pasukan militer harus diselidiki sepenuhnya oleh masyarakat internasional, karena tindakan-tindakan itu sama saja dengan kejahatan terhadap kemanusiaan.[IZ]