JAKARTA, (Panjimas.com) – Hak angket merupakan hak penyelidikan yang dimiliki oleh DPR untuk menjalankan fungsi pengawasan (controling). Secara historis, hak angket sebagai penguatan posisi DPR ketika berhadapan dengan Pemerintah dalam hal ini presiden. Namun, Hak Angket tersebut tidak tepat digunakan DPR karna melebihi batas untuk menyelidiki KPK. Hal ini menimbulkan kecurigaan publik, karena angket tersebut “dipaksakan” muncul ketika KPK berupaya menuntaskan mega skandal korupsi e-KTP.
“HMI sebagai organisasi kemahasiswaan melihat, bahwa penggunaan angket tersebut telah melebihi batas kewenangan sebagimana diatur dalam UU No.17 Tahun 2014 tentang MPR, DPR, DPD dan DPRD (UU MD3). “ ujar Muhammad Fauzi, Ketua Umum PB HMI MPO melalui release yang dikirimkan ke redaksi Senin, (17/7).
Terkait hal tersebut HMI menilai, hak angket DPR terhadap KPK tidak jelas substansi dan tujuan yang hendak dicapai, faktanya materi angket dapat mengganggu kinerja KPK yang sedang menyelesaikan penyidikan korupsi e-KTP. Sehingga tidak tepat DPR sebagai lembaga politik justru menyelidiki secara politik materi yang sedang diselidiki secara hukum (pro justicia) oleh KPK.
Hak angket DPR sarat kepentingan politik, hal ini dapat dijelaskan dengan adanya nama-nama anggota DPR yang diduga terlibat korupsi e-KTP, namun berada di keanggotaan Panitia Khusus (Pansus) Angket DPR bahkan menjadi Ketua Pansus.
Selanjutnya Muhammad Fauzi menambahkan bahwa, Pansus angket DPR cacat Prosedural dan cacat substansi, karena dipaksakan disahkan ketika sejumlah anggota DPR melakukan interupsi hingga walk out. Kemudian, tidak tepat justru yang menjadi subyek angket adalah KPK selaku state independent agencies, padahal seharusnya yang harus diselidiki adalah pemerintah dalam hal ini Kementerian Dalam Negeri yang melaksanakan program e-KTP.
Pansus DPR telah berlebihan dengan dalih klausul “pelaksanaan UU” dalam UU MD3 maka dapat mengangketkan KPK. Sebaliknya, Pansus DPR tidak mengaitkan dengan klausul kedua, yaitu kebijakan pemerintah penting, strategis, dan berdampak luas dan bertentangan dengan peraturan perundang-undangan. Padahal rumusan Pasal 79 ayat (3) UU MD3 adalah kumulatif –alternatif, sehingga harus dibuktikan unsur penting, strategis dan berdampak luas. Maka Dapat disimpulkan, Pansus angket KPK tidak memahami nilai historis dan yuridis (original intent) hak angket masuk dalam Perubahan Kedua UUD RI Tahun 1945 (pasal 20A ayat 2).
“Korupsi adalah kejahatan luar biasa (Extra Ordinari Crime). Pemberantasan korupsi merupakan agenda bersama seluruh elemen bangsa. Maka merupakan kesalahan fatal dan melawan hukum bagi siapapun yang berusaha menghalangi dalam hal ini melakukan kriminalisasi dan pelemahan terhadap agenda perjuangan pemberantasan korupsi.” Tambahnya.
Berdasarkan Hal diatas, PB HMI MPO menyatakan, menolak Hak Angket DPR terhadap KPK, karena substansi angket bertentangan dengan upaya penyidikan (pro justicia) kasus e-KTP oleh KPK. Mendesak agar partai politik menarik perwakilan dari Pansus hak angket, karena keberadaan Pansus Angket Cacat prosedural dan Substansi.
Mendukung Wadah Pegawai KPK untuk melakukan Judicial Review di Mahkamah Konstitusi terhadap UU.No.17 Tahun 2014 Tentang MPR, DPR, DPD dan DPRD.
“Mendukung agenda pemberantasan korupsi oleh KPK secara akuntabel dan tidak tebang pilih. Menginstruksikan kepada seluruh cabang HMI Se-Indonesia melakukan aksi simpatik menolak pelemahan dan Kriminalisasi KPK.” Pungkasnya. [RN]