JAKARTA (Panjimas.com) – Kebebasan berserikat merupakan hak yang ada dalam Konstitusi dan berbagai UU yang harus dijamin dan dilindungi oleh Pemerintah. Perpu tersebut mengandung muatan pembatasan kebebasan untuk berserikat yang tidak legitimate.
Demikian pernyataan sikap YLBHI bersama 15 Kantor LBH se-Indonesia merespon penerbitan PERPPU No 2/2017 Tentang Perubahan Atas UU No 17/2013 tentang Organisasi Kemasyarakatan. “Kami YLBHI dan 15 LBH Kantor se Indonesia telah mengikuti secara seksama dinamika penerbitan PERPPU tersebut.”
Seperti diberitakan sebelumnya, pada 10 Juli 2017, Pemerintah telah mengeluarkan PERPPU No 2 Tahun 2017 Tentang Perubahan atas UU No 17 tahun 2013 tentang Organisasi Kemasyarakatan.
Menurut YLBHI, pembatasan kebebasan berserikat hanya bisa dibatasi apabila diperlukan dalam masyarakat demokratis untuk kepentingan keamanan nasional dan keselamatan publik, ketertiban umum, perlindungan kesehatan dan moral umum, atau perlindungan atas hak dan kebebasan dari orang lain.
“Keamanan nasional” misalnya untuk melindungi keberadaan suatu bangsa atau keutuhan teritorialnya atau kemerdekaan politik melawan kekerasan atau ancaman kekerasan. Keamanan nasional misalnya tidak bisa diberlakukan dalam hal :
Sebagai alasan untuk memberlakukan pembatasan untuk mencegah ancaman yang bersifat lokal atau relatif terisolasi kepada hukum dan ketertiban. Sebagai dalih untuk memberlakukan pembatasan yang kabur atau sewenang-wenang dan hanya bisa diberlakukan ketika terdapat perlindungan yang memadai dan pemulihan efektif untuk pelanggaran.
Sepintas penerbitan PERPPU tersebut didasarkan pada suatu niat yang baik dimana Pemerintah akan memberikan perlindungan Hak Asasi Manusia bagi warga negara. Hal tersebut dapat dilihat dari uraian beberapa pasal yang termaktub dalam perpu tersebut. Padahal, jika mengamati pasal-pasal yang terdapat didalamnya YLBHI dan 15 Kantor LBH lainnya menemukan setidaknya 6 kesalahan PERPPU 2/2017.
Pertama, seolah akan melindungi warga negara dari tindakan-tindakan diskriminasi atas dasar Suku, Agama dan Ras sehingga Pemerintah dinilai telah memberikan perlindungan terhadap hak warga negara.
Kedua, Negara seolah-olah hendak memberikan perlindungan terhadap hak warga negara dengan cara menjamin Rasa Aman, karena akan menindak Ormas-Ormas yang melakukan tindakan-tindakan kekerasan dan dipandang mengganggu ketertiban umum.
Ketiga, Negara seolah-olah hendak memberikan perlindungan terhadap hak warga negara dengan cera menindak ormas-ormas yang mengambil alih tugas dan wewenang penegak hukum, seperti melakukan sweeping, pembubaran acara atau tindakan-tindakan main hakim sendiri (eigenrechting), bahkan persekusi.
Keempat, Negara seolah-olah hendak memberikan perlindungan terhadap hak warga negara untuk beragama dengan menindak ormas yang dianggap melakukan penyalahgunaan, penistaan atau penodaan terahadap agama yang dianut di Indonesia.
Kelima, Negara seolah-olah akan melindungi kedaulatan bangsa ini dengan cara menindak ormas-ormas yang melakukan kegiatan separatis.
Keenam, Negara seolah-olah melindungi Dasar Negara Pancasila dengan menindak ormas-ormas yang menyebarkan ajaran atau paham yang bertentangan dengan pancasila.
Secara Prosedural penerbitan PERPPU tersebut tidak memenuhi 3 syarat sebagaimana dinyatakan dalam putusan Mahkamah Konstitusi dalam putusan No 38/PUU-VII/2009, yaitu adanya kebutuhan mendesak untuk menyelesaikan masalah hukum secara cepat berdasarkan Undang-Undang.
Adanya kekosongan hukum karena UU yang dibutuhkan belum ada atau tidak memadai, dan kekosongan hukum tidak dapat diatasi dengan prosedur normal pembutan UU. Terakhir syarat tersebut tidak terpenuhi karena tidak ada situasi kekosongan hukum terkait prosedur penjatuhan sanksi terhadap ormas. (desastian)