SANA’A (Panjimas.com) — Mantan Presiden Yaman Ali Abdullah Saleh menolak rencana untuk mengambil alih kembali kekuasaan di negara yang sedang dilanda peperangan itu.
Saleh telah menegaskan bahwa dirinya tidak berusaha untuk “kembali berkuasa begitu pula anaknya”, menurut seorang sumber di kantor Saleh yang berbicara secara anonim, dikutip dari AA.
Pekan lalu, situs Intelijen Online Prancis, mengatakan Arab Saudi kini dengan tangan terbuka berencana untuk mengembalikan Saleh dan keluarganya ke tampuk kekuasaan di Yaman.
Putra Saleh, Ahmed, saat ini tinggal di Uni Emirat Arab (UEA).
Saleh telah memerintah Yaman selama lebih dari 3 dekade (30 tahun lamanya) sebelum dia dipaksa untuk mengundurkan diri pada tahun 2012 di bawah aksi demonstrasi populer rakyat Yaman, bagian dari Revolusi Musim Semi Arab, “Arab Spring”.
Sebelumnya Selasa (11/07), Abdullah al-Alimi, Kepala Kantor Kepresidenan Yaman, menggambarkan laporan tentang kembalinya Saleh ke tampuk kekuasaan sebagai suatu “ilusi”.
Yaman yang kini menjadi negara miskin, tetap berada dalam keadaan kacau sejak tahun 2014, ketika milisi Syiah Houthi dan sekutunya menguasai ibukota Sanaa dan bagian-bagian lain negara ini.
Sejak Maret 2015, koalisi interansional yang dipimpin Saudi telah memerangi pemberontak Syiah Houthi yang disokong rezim Iran dan pasukan-pasukan yang setia kepada mantan Presiden Yaman Ali Abdullah Saleh, Arab Saudi dan sekutu-sekutu negara Muslim Sunni meluncurkan kampanye militer besar-besaran yang bertujuan untuk mengembalikan kekuasaan yang diakui secara internasional dibawah Presiden Abd-Rabbu Mansour Hadi.
Arab Saudi dan para sekutunya melihat milisi Houthi sebagai proxy kekuatan Iran di dunia Arab. Koalisi militer Arab yang dipimpin oleh Saudi di Yaman terdiri dari Koalisi 10 negara yakni Arab Saudi, Kuwait, Uni Emirat Arab, Qatar, Bahrain, Yordania, Mesir, Maroko, Sudan, dan Pakistan.
Menurut pejabat PBB, lebih dari 10.000 warga Yaman telah tewas akibat konflik berkepanjangan ini, sementara itu lebih dari 11 persen dari jumlah penduduk negara itu terpaksa mengungsi, sebagai akibat langsung dari pertempuran yang tak kunjung usai. Untuk diketahui, lebih dari setengah total korban adalah warga sipil. sementara 3 juta lainnya diperkirakan terpaksa mengungsi, di tengah penyebaran malnutrisi dan penyakit.[IZ]