JAKARTA (Panjimas.com) ¬- Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Pers mendesak DPR untuk menolak Perppu Nomor 2 Tahun 2017. Karena tidak ada alasan “kegentingan memaksa”. Pada dasarnya Perpu diterbitkan dalam situasi dan kondisi yang genting. Jika tidak diterbitkan akan mengganggu kepentingan nasional. Sedangkan kondisi saat ini di luar situasi dan kondisi tersebut.
“Bahkan dengan dikeluarkannya Perpu ini akan sangat berpotensi menggangu dan mengancam demokrasi dan hak asasi manusia,” demikian pernyataan aktivis LBH Pers, Nawawi Bahrudin di Jakarta, 12 Juli 2017.
Seperti diberitakan sebelumnya, pada 10 Juli 2017 Presiden Joko Widodo mencetak sejarah baru dengan mengeluarkan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2017 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2013 tentang Ormas. Perppu ini diyakini lebih buruk dibandingkan dengan UU Ormas 17 Tahun 2013.
Isu tentang Pemerintah akan mengeluarkan Perppu Ormas sudah bergulir sejak lama, permasalahan yang digadang-gadangkan mendasari Perppu ini adalah karena merebaknya ormas-ormas radikal yang sering melakukan kekerasan. Namun apakah tepat tindakan Pemerintah mengelurkan Perppu Nomo 2 yang menggantikan UU Nomor 17 Tahun 2013?
LBH Pers menilai Perppu Ormas ini adalah sebagai langkah mundur demokrasi di Indonesia khususnya pada kebebasan berkumpul, berorganisasi dan berekspresi. Jaminan terhadap hak-hak sipil-politik tersebut sudah dijamin oleh Konstitusi UUD 1945 Pasal 28 E bahwa Setiap orang berhak atas kebebasan berserikat, berkumpul, dan mengeluarkan pendapat.
Fenomena merebaknya ormas yang mempromosikan intoleransi, radikalisme bahkan terorisme menjadi background terbitnya Perppu dan dalam kondisi ini. Negara memang tidak boleh diam dan kalah terhadap kelompok-kelompok intoleran bahkan sebuah kewajiban bagi negara tersebut untuk menjamin kebebasan hak asasi masyarakat lainya.
“Namun sebaliknya, Pemerintah harus hati-hati dan tidak reaktif karena Pemerintah harus tetap pada koridor politik negara yang demokratik dan menghormati standar-standar hak asasi manusia. Hal ini sangat penting karena kewenangan yang berlebih akan membawa kita kembali pada sisi kelam demokrasi,” demikian sikap LBH Pers.
Beberapa ketentuan baru dalam Perpu yang berpotensi mengancam demokrasi dan HAM adalah Pasal 82A yang mengatur tentang ancaman sanksi pidana kepada siapapun yang menjadi pengurus atau anggota Ormas baik langsung maupun yang tidak langsung yang melakukan tindakan permusuhan berbasis SARA serta penistaan terhadap satu agama yang diatur di Indonesia, dengan ancaman sanksi seumur hidup.
Selain itu juga, Perpu ini menghapuskan langkah-langkah persuasif dalam penanganan ormas yang dianggap melakukan pelanggaran. Dalam penanganan ormas-ormas yang dianggap melanggar, sebenarnya UU Ormas Nomor 17 Tahun 2013 sudah sedikitnya lebih baik ketimbang Perppu saat ini, karena di dalam undang-undang tersebut pemerintah harus melakukan upaya persuasif dan kemudian melalui pengadilan jika pemerintah memandang perlu membubarkan ormas tersebut.
Di dalam Perppu tersebut memberikan Pemerintah “Jalan Tol” untuk membubarkan sebuah ormas yang dianggap Pemerintah sebagai ancaman negara.
Beberapa pasal (Pasal 63 sampai dengan Pasal 80 UU Ormas) yang dihapuskan oleh Perppu Ormas adalah pasal-pasal yang mengatur tentang sanksi penghentian sementara kegiatan ormas wajib meminta pertimbangan Mahkamah Agung (Pasal 65 UU ormas) dan selanjutnya untuk permohonan pembubaran ormas dilakukan dengan permohonan yang diajukan jaksa ke Pengadilan Negeri di wilayah kedudukan orang yang dianggap melanggar (Pasal 70 UU Ormas).
Perppu ini juga menghapus semua mekanisme uji oleh lembaga peradilan dan menghapus semua kewenangan lembaga peradilan demi kepentingan pembubaran sebuah ormas.
“Hal ini kami menilai sangat berbahaya karena kewenangan yang begitu besar diberikan kepada Pemerintah untuk melakukan pembubaran ormas dan sangat berpotensi menyasar kepada kelompok-kelompok kritis yang mengkritik Pemerintah (Penjelasan Pasal 59 ayat 3).” (desastian)