JAKARTA (Panjimas.com) — Menanggapi informasi yang beredar bahwa Presiden Jokowi telah menandatangani Perppu Tentang Perubahan Atas UU No 17 Tahun 2014 tentang Organisasi Kemasyarakatan yang rencananya diumumkan kepada publik, mantan Menteri Hukum dan HAM, Yusril Ihza Mahendra menilai Perppu tersebut sebagai bentuk kemunduran demokrasi di Indonesia.
“Perppu itu membuka peluang bagi sebuah kesewenang-wenangan dan tidak sejalan dengan cita-cita reformasi,” kata Yusril dalam rilis yang diterima Panjimas.com, Selasa (11/7/2017).
Yusril menjelaskan, berdasarkan UU Ormas yang berlaku sekarang, Pemerintah tidak mudah untuk membubarkan ormas melainkan harus lebih dulu melakukan langkah persuasif, memberi peringatan tertulis, dan menghentikan kegiatan sementara kepada ormas tersebut. “Kalau tidak efektif dan pemerintah mau membubarkannya, maka Pemerintah harus meminta persetujuan pengadilan lebih dulu sebelum membubarkan ormas tersebut,” tambahnya.
Dengan Perppu baru ini, menurutnya, semua prosedur itu nampak dihilangkan. Pemerintah dapat membubarkan setiap ormas yang dianggap bertentangan dengan Pancasila tanpa melalui prosedur di atas.
Selain itu, Yusril menganggap Perppu ini dikeluarkan tidak dalam hal ikhwal kegentingan yang memaksa sebagaimana diatur oleh UUD 45. “Situasi kegentingan apa yang ada dalam benak Presiden sehingga memandang perlu mengeluarkan Perppu? Apa karena keinginan membubarkan HTI (Hizbut Tahrir Indonesia) yang dianggap menganut faham yang bertentangan dengan Pancasila dan NKRI?” imbuhnya.
Dikatakan Yusril lebih lanjut, ia memandang persoalan HTI belumlah memenuhi syarat adanya kegentingan yang memaksa. “Ataukah Pemerintah punya target lain untuk membidik ormas-ormas yang berseberangan pendapat dengan Pemerintah?” tuturnya.
Oleh karenanya, Yusril berharap agar DPR bersikap kritis dalam menyikapi Perppu tersebut untuk mencegah terjadinya kesewenang-wenangan. (yan)