YANGON (Panjimas.com) — Kepala Badan Pengungsi PBB mendesak pemerintah Myanmar untuk menemukan solusi atas isu-isu kompleks di negara bagian Rakhine bagian barat dimana minoritas Muslim Rohingya menghadapi penganiayaan selama beberapa dekade lamanya.
“Ini adalah masalah yang kompleks, namun tidak sulit,” ujar Filippo Grandi dalam sebuah pernyataan Kamis malam (06/07) setelah kunjungan pertamanya ke negara bagian Rakhine yang merupakan rumah bagi 1,2 juta muslim Rohingya yang tidak diakui status kewarganegaraannya.
Grandi mengunjungi daerah Maungdaw di mana pasukan keamanan Myanmar diduga melakukan pelanggaran hak asasi baru terhadap Muslim Rohingya setelah pembunuhan 9 petugas polisi di sana, oleh sekolompok bersenjata Oktober lalu.
Menurut United Nations Office for the Coordination of Humanitarian Affairs, Kantor PBB untuk Koordinasi Urusan Kemanusiaan (Myanmar), lebih dari 70.000 Muslim Rohingya terpaksa melarikan diri dari wilayah Maungdaw sejak militer memulai operasi DOM (Daerah Operasi Militer) Oktober lalu setelah kematian sembilan petugas polisi dalam serangan terhadap pos-pos perbatasan.
Selama operasi tersebut, PBB dan kelompok hak asasi manusia telah mendokumentasikan pelanggaran-pelanggaran yang meluas oleh aparat keamanan seperti pembunuhan – termasuk anak-anak dan bayi – pemerkosaan perempuan rohingya, pemukulan brutal, pembakaran desa-desa muslim dan penculikan.
Pemerintah mengatakan setidaknya 106 orang tewas akibat operasi militer tersebut namun kelompok muslim Rohingya mengatakan sekitar 400 muslim Rohingya dibunuh.
Meskipun etnis Rohingya telah tinggal selama beberapa generasi di Rakhine, status kewarganegaraan etnis Rohingya dengan undang-undang kewarganegaraan yang diberlakukan pada tahun 1982 dan pemerintah juga membatasi hak-hak dasar seperti kebebasan bergerak.
“Langkah pertama yang penting adalah dibukanya akses kebebasan bergerak dan akses terhadap layanan-layanan dan mata pencaharian bagi semua,” pungkasnya.
Grandi juga bertemu dengan Penasihat Negara Myanmar Aung San Suu Kyi di ibukota Nay Pyi Taw, Kamis (06/07) dan mendorong rekomendasi dari Komisi Penasehat Negara Rakhine untuk menyediakan peta solusi penting untuk beberapa waktu ke depan.
Rekomendasi-rekomendasi Komisi tersebut mencakup akses tanpa hambatan ke daerah-daerah yang terkena dampak di negara bagian Rakhine untuk pekerja bantuan kemanusiaan, jurnalis dan penyelidikan independen atas pembunuhan petugas polisi tersebut.
Pekan lalu, Myanmar mengumumkan bahwa 3 kamp pengungsian telah ditutup sebagai langkah awal untuk relokasi dan penagdaan pemukiman kembali untuk sebagian besar umat Muslim Rohingya yang mengungsi akibat kekerasan dalam satu tahun terakhir.Penutupan tersebut merupakan rekomendasi sementara oleh Komisi Penasihat Kofi Annan.
Penindasan Rohingya Terstruktu
Pelapor khusus HAM PBB di Myanmar, Yanghee Lee, pada Jumat (20/01/2017) mengatakan bahwa pemberontakan bersenjata di negara bagian Rakhine disebabkan karena diskriminasi selama beberapa dekade lamanya yang dilembagakan, terstruktur dan sistematis terhadap Muslim Rohingya.
Undang-Undang tahun 1982 menolak hak-hak etnis Rohingya – banyak di antara mereka telah tinggal di Myanmar selama beberapa generasi, namun hak kewarganegaraan mereka tak diakui, status mereka stateless [tanpa negara]. Situasi ini juga menghilangkan kebebasan Rohingya bergerak, dari akses pendidikan hingga layanan kesehatan yang sangat minim, bahkan otoritas Myanmar terus melakukan penyitaan sewenang-wenang terhadap properti milik mereka.
Diperkirakan 1,1 juta Muslim Rohingya tinggal di Rakhine, di mana mereka dianiaya, dan menjadi minoritas etnis tanpa negara. Pemerintah Myanmar secara resmi tidak mengakui Rohingya, menyebut mereka imigran Bengali sebagai imigran ilegal, meskipun ketika dilacak akar sejarahnya, etnis Rohingya telah lama hidup dan tinggal di Myanmar selama beberapa generasi.
Minoritas Etnis Paling Tertindas
John McKissick, seorang pejabat Badan pengungsi PBB yang berbasis di Bangladesh, mengatakan etnis Rohingya adalah “minoritas etnis yang paling tertindas di dunia.”
Bahkan sebuah rencana Kepolisian akhir tahun lalu mengumumkan untuk mempersenjatai dan melatih kekuatan sipil para warga non-Muslim dari Arakan, dan hal ini cenderung meningkatkan ketegangan sektarian.
Kekerasan sangat mempengaruhi Muslim Rohingya. Sekitar 100.000 masih hidup dalam keterbatasan di tempat-tempat kumuh di mana mereka dilarang pergerakannya, dibatasi aksesnya terhadap pendidikan dan kesehatan. Puluhan ribu Rohingya telah melarikan diri dengan perahu, banyak dari mereka meregang nyawa di lautan yang berbahaya.
Muslim Rohingya telah melarikan diri dari Myanmar sejak pertengahan 2012 setelah kekerasan komunal pecah di Rakhine antara etnis Rakhine Buddha dan Muslim Rohingya, menewaskan lebih dari 100 orang dan memaksa sekitar 140.000 Muslim Rohingya mengungsi.
Menurut perhitungan lainnya, Kekerasan tahun 2012 tersebut membuat sekitar 57 Muslim dan 31 Buddha tewas, sekitar 100.000 korban lainnya mengungsi di kamp-kamp dan lebih dari 2.500 rumah dihancurkan -. yang sebagian besar milik Muslim Rohingya
Laporan-laporan penargetan disengaja dan pembunuhan tanpa pandang bulu serta penangkapan warga sipil Rohingya, penghancuran rumah-rumah dan bangunan keagamaan, juga pelecehan sesual pada perempuan Rohingya oleh pasukan militer harus diselidiki sepenuhnya oleh masyarakat internasional, karena tindakan-tindakan itu sama saja dengan kejahatan terhadap kemanusiaan.[IZ]