JAKARTA (Panjimas.com) – Presiden Jokowi telah menandatangani Perpu Tentang Perubahan Atas UU No 17 Tahun 2014 tentang Organisasi Kemasyarakatan yang diumumkan kepada publik. Perpu ini mengubah beberapa pasal tentang prosedur pembubaran ormas sebagaimana diatur dalam UU Ormas yang berlaku sekarang.
Sebagaimana diketahui bahwa berdasarkan UU Ormas yang berlaku sekarang, Pemerintah tidak mudah untuk membubarkan ormas melainkan harus lebih dulu melakukan langkah persuasif, memberi peringatan tertulis, dan menghentikan kegiatan sementara kepada ormas tersebut.
“Kalau tidak efektif dan pemerintah mau membubarkannya, maka Pemerintah harus meminta persetujuan pengadilan lebih dulu sebelum membubarkan ormas tersebut,” demikian dikatakan Pakar Tata Negara, Yusril Ihza Mahendra dalam keterangan persnya.
Dikatakan Yusril, dengan Perpu baru ini, semua prosedur itu nampak dihilangkan. Pemerintah dapat membubarkan setiap ormas yang dianggap bertentangan dengan Pancasila tanpa melalui prosedur di atas.
“Saya menilai isi Perpu ini adalah kemunduran demokrasi di negeri ini. Perpu itu membuka peluang bagi sebuah kesewenang-wenangan dan tidak sejalan dengan cita-cita reformasi,” ungkap Yusril.
Selain itu, Yusril menganggap Perpu ini dikeluarkan tidak dalam hal ikhwal kegentingan yang memaksa sebagaimana diatur oleh UUD 45. Situasi kegentingan apa yang ada dalam benak Presiden sehingga memandang perlu mengeluarkan Perpu? Apa karena keinginan membubarkan HTI (Hizbut Tahrir Indonesia) yang dianggap menganut faham yang bertentangan dengan Pancasila dan NKRI?
“Persoalan HTI pada hemat saya belumlah memenuhi syarat adanya kegentingan yang memaksa. Ataukah Pemerintah punya target lain untuk membidik ormas-ormas yang berseberangan pendapat dengan Pemerintah? Saya berharap DPR bersikap kritis dalam menyikapi Perpu ini untuk mencegah terjadinya kesewenang-wenangan,” ujar Yusril. (desastian)