JAKARTA (Panjimas.com) – KPK dibentuk dengan undang-undang, maka untuk menyelidiki sejauh mana undang-undang pembentukan KPK sudah dilaksanakan dengan praktik, maka DPR dapat melakukan angket terhadap KPK.
Hal itu dikatakan Pakar Hukum Tata Negara Yusril Ihza Mahendra dalam RDPU dengan Pansus Angket KPK di Gedung DPR, Jakarta, Senin (10/7/2017), terkait Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) dapat melayangkan hak angket terhadap KPK.
Yusril menjelaskan, adanya pasal dalam Undang-undang Dasar 1945 disebutkan, DPR itu mempunyai beberapa tugas dan kewenangan, yakni legislasi, pengawasan, dan anggaran.
“Dalam rangka pelaksanaan kewenangan di bidang pengawasan itulah, maka DPR dibekali dengan hak-hak, antara lain hak angket atau melakukan penyelidikan,” ujarnya.
Yusril menuturkan, hak angket dituangkan sejak adanya UU MD3. Pada pasal 204 disebutkan bahwa DPR dapat melakukan angket terhadap pelaksanaan suatu undang-undang, dan terhadap kebijakan pemerintah.
“Timbul pertanyaan dapatkah DPR secara konstitusional melakukan angket terhadap KPK, maka jawab saya adalah karena KPK dibentuk dengan undang-undang, maka untuk mengawasi pelaksanaan undang-undang itu, DPR dapat melakukan angket terhadap KPK,” jelas mantan Menteri Kehakiman itu.
Namun, Yusril menjelaskan dirinya tidak berwenang berpendapat mengenai kasus yang akan diangkat dalam Pansus Angket KPK.
Seperti Kopkamtib
Lebih jauh Yusril Ihza Mahendra mengibaratkan KPK seperti Komando Pemulihan Keamanan dan Ketertiban (Kopkamtib) di era Presiden Soeharto.
Meskipun dalam risalah pembahasan UU KPK, pemerintah tidak secara eksplisit membentuk lembaga superbodi yang diberikan kewenangan luar biasa.
“Saya ditanya sama pemerintah, KPK ini diberikan kewenangan yang secara hukum luar biasa. Saya waktu itu katakan ini ibarat Kopkamtib dibentuk pada zaman Soeharto, dengan pertimbangan situasi aman tertib pasca-G30S, parah,” tutur Yusril.
Yusril menjelaskan, Kopkamtib dipimpin oleh Sudomo. Lembaga tersebut diberikan kewenangan yang luar biasa menangkap seseorang yang dituding beraliran kanan atau kiri. Langkah penangkapan tersebut tidak dapat dipertanyakan.
“Jadi, dalam situasi kritis, pemerintah bisa mengambil langkah luar biasa, tetapi situasi luar biasa itu tidak merupakan suatu lembaga permanen. Jadi Kopkamtib itu diakhiri oleh Pak Harto sendiri, ketika ada desakan, melanggar HAM, Kopkamtib dicabut,” jelas Yusril.
Yusril menuturkan, dalam pembahasan RUU KPK dikedepankan sistem koordinasi, supervisi, dan penuntutan, agar lembaga anti-rasuah itu tidak melampaui kewenangannya. Sehingga, KPK melakukan supervisi dan koordinasi untuk memperkuat jaksa dan polisi.
“Kalau polisi sudah kuat, jaksa sudah kuat, ya tidak perlu lagi (KPK), seperti Pak Harto. Karena KPK dibuat dengan undang-undang, maka terserah DPR sendiri, saya tidak ikut campur. Jadi KPK bukan lembaga permanen. Jadi kewenangan KPK itu tetap mengacu pada KUHAP, baik UU 31/1999 dan UU KPK sendiri,” papar mantan Menteri Kehakiman itu. (desastian)