SOLO (Panjimas.com) – Penyerangan anggota Brimob di Masjid Falatehan, dekat Lapangan Bhayangkara, Kebayoran Baru, Jakarta Selatan, oleh orang yang tak dikenal, menurut Sekretaris Umum Pimpinan Pusat (PP) Muhammadiyah, Abdul Mu’ti sebagai bentuk kekecewaan masyarakat terhadap kinerja Polisi.
Usai Silaturahmi dan Halal bi halal bersama keluarga besar Universitas Muhammadiyah Surakarta (UMS), Pabelan, Kartosuro, Sukoharjo-Solo, dia menilai aksi nekat orang tak dikenal itu sebagai bentuk balas dendam.
“Ini bukan pertama kalinya, sudah ke sekian kali. Maknanya bahwa masyarakat banyak kecewa dengan Polisi. Aksi itu bisa jadi merupakan balas dendam adanya cara-cara yang dilakukan Polisi khususnya Densus 88,” katanya dihadapan wartawan, Senin (3/7/2017).
Mu’ti menjelaskan cara aparat Polisi yang memilih militeristik menurutnya tidak tepat. Pendekatan sosial, bagi dia lebih penting dan utama, untuk menghindari terjadinya kekerasan berlanjut.
“Cara-cara penindakan terorisme yang mengedepankan militeristik harus ditinggalkan. Diperkuat dengan social security aproach, pendekatan bersifat sosial jauh lebih penting dan harus diutamakan,” ucapnya.
Sementara itu terkait program deradikalisasi, PP Muhammadiyah tidak pernah setuju karena bersifat kuratif. Mu’ti mengatakan sejak awal Muhammadiyah keberatan sebab Amerika serikat yang pertama menggunakan istilah deradikalisasi telah meninggalkannya.
“Sejak awal Muhammadiyah tidak setuju dengan deradikalisasi, Muhammadiyah mengusulkan cara moderasi beragama. Secara sikologis berbeda, punya langkah prefentif sekaligus kuratif. Istilah deradikalisasi pertama kan Amerika Serikat, bahkan sudah meninggalkan itu,” tandasnya.
Untuk itu, Mu’ti mengusulkan cara yang edukatif dan persuasif, sebab jika kekerasan diselesaikan dengan kekerasan justru akan muncul kekerasan bentuk baru.
“Sekali lagi cara persuasif dan edukatif menjadi prioritas,” pungkasnya. [SY]