JAKARTA (Panjimas.com) – Sebagai kepala pemerintahahan sekaligus kepala negara, Jokowi punya dua pekerjaan rumah besar. Pertama, memperbaiki basis elektoralnya. Kedua, menata kembali relasi antar-elemen bangsa.
Hal itu dikatakan Hersubeno Arief, seorang Konsultan Media dan Politik dalam keterangan tertulisnya, belum lama ini.
Dikatakan Hersubeno, dari sisi elektoral Jokowi masih mempunyai waktu dua tahun untuk mempersiapkan bekal menghadapi Pilpres 2019. Sebagai Presiden incumbent dia mempunyai berbagai keuntungan yang tidak dimiliki oleh pesaingnya. Jadi bila kini dia bergerak cepat, maka hampir dapat dipastikan tidak akan terkejar dalam adu pacu menuju Pilpres.
“Umat Islam bagaimanapun adalah pemilih terbesar. Memusuhi Islam adalah logika pilihan di luar nalar sehat demokrasi, dimana rakyat pemilih sebagai penentunya,” ungkap Hersubeno.
Menurutnya, fakta bahwa komando struktural ormas-ormas besar Islam dalam berbagai Aksi Bela Islam menunjukkan adanya perubahan besar dalam pola gerakan umat Islam.
“Jokowi tidak cukup hanya merangkul Pengurus Besar (PB) NU,dan Pengurus Pusat (PP) Muhammadiyah, dan mengabaikan ormas Islam lainnya, termasuk mereka yang kemudian melebur ke dalam gerakan baru model GNPF.”
Hersubeno menjelaskan, Pilkada DKI juga menunjukkan bahwa teori matinya “politik aliran” lebih berupa agenda dibandingkan dengan realita. Agenda tersebut coba dipaksakan oleh para akademisi, dan lembaga survei kepada benak para pemilih. Demikian pula halnya tudingan “politisasi agama” dilakukan kelompok minoritas yang sangat sadar akan kalah bersaing bila menggunakan logika demokrasi.
“Dalam demokrasi, pemenang ditentukan oleh jumlah pemilih. Selama aturan demokrasi masih seperti itu, maka umat Islam yang menyadari potensi dan kekuatannya akan menjadi pemenang.”
Cara mengalahkannya hanya dengan memanipulasi kesadaran politik umat, antara lain dengan agenda brain washing’“matinya politik aliran” dan tudingan “politisasi agama”. Sayangnya cara-cara brain washing maupun pemaksaan agenda setting syarat utamanya adalah penguasaan media dan publik opini.
“Hadirnya media sosial membuat pemerintah ataupun kelompok tertentu tidak bisa lagi memaksakan agenda setting-nya. Informasi dan publik opini, tidak lagi berjalan satu arah.”
Relasi Antar Elemen Bangsa
Dari sisi relasi antar-elemen anak bangsa, Hersubeno Arief, mengatakan, praktik politik yang mencoba mendorong umat Islam keluar dari “kapal besar Indonesia” tidak boleh dilanjutkan. Sebagai Kepala Negara Jokowi harus mencegah hal itu terjadi, bukan malah sebaliknya turut mengambil bagian di dalamnya.
“Sebagai mayoritas tentu umat Islam harus mempunyai peran yang proporsional pula dengan tidak mengabaikan kelompok-kelompok minoritas lainnya. Jangan dibalik, balik.”
Realitas bahwa sekelompok minoritas menguasai perekonomian Indonesia, perlu penataan kembali. Harus ada langkah konkrit untuk mengkoreksinya. Pilkada DKI jangan hanya dilihat secara sederhana sebagai perlawanan umat, tapi dalam konteks yang lebih besar adalah bentuk perlawanan dari sebuah ketidakadilan.
Presiden Jokowi harus berani keluar dari pakem demokrasi Indonesia yang seolah sudah baku, bahwa pemilik modal sangat menentukan bagi seorang kandidat untuk terpilih kembali.
“Biaya mahal dalam proses demokrasi di Indonesia mendorong para kandidat dan partai politik berselingkuh dengan apara pemilik modal. Mereka kemudian membentuk oligarki. Pilkada DKI menunjukkan ketika rakyat melawan, kekuatan modal sebesar apapun bisa dikalahkan.”
Hersubeno berharap, pertemuan Presiden dengan GNPF MUI semoga saja merupakan sebuah pilihan sadar dari Jokowi untuk memperbaiki relasi antar-elemen bangsa. Bukan sekedar taktik dan pilihan politik jangka pendek untuk memperbaiki dan merebut kembali basis elektoralnya. (desastian)