JAKARTA (Panjimas.com) – Istilah Halal Bi Halal ini khas budaya Indonesia dalam mengemas kegiatan keagamaan. Sebenarnya, tradisi dan substansinya telah ada sebelum kemerdekaan, yaitu tradisi sungkeman dan silaturrahim yang kemudian oleh KGPAA Mangkunegara I atau yang dikenal dengan Pangeran Sambernyawa dijadikan acara bersama di Kraton.
Demikian disampaikan KH. M. Cholil Nafis, Lc., Ph.D, Pembina Yayasan Investa Cendekia Amanah, yang juga Ketua Komisi Dakwah MUI dalam situs pribadinya.
Dikatakan KH. Cholil Nafis, pada tahun 1948, awal kemerdekaan di Indonesia banyak polemik dan perbedaan pandangan para tokoh bangsa. Lalu Presiden Soekarno hendak melakukan rekonsiliasi dan konsolidasi nasional meminta pandangan kepada Kiai Wahhab Hasbullah.
Kiai Wahhab mengusulkan diadakan silaturrahim. Tapi istilah ini ditolak karena Presisden Soekarno ingin ada istilah baru yang lebih spesifik. Kiai Wahhab mengsuslkan nama Halal Bi Halal.
“Filosofinya, bahwa orang yang punya salah dan bermusuhan itu sedang melakukan yang haram kepada yang lain, sehingga perlu dihalalkan dan saling menghalalkan antara anak bangsa sehingga tak ada haram dan dosa antar sesama serta kembali pada kerukunan dan kesatuan.”
Memang istilah Halal Bi Halal ini tidak dikenal di Arab dan tak lumrah dalam susunan bahasa Arab. Namun kalau mau membuka hadits riwayat Muslim akan menemukan makna halal adalah memaaafkan. Rasulullah saw bersabda: man kanat ‘indahu madzlimatun falyuhallilhu minha (Barang siapa yang berbuat zhalim maka hendaknya dimaafkan/dihalalkan). Halal itu dibolehkan dengan menghalalkan kepada yang lain.
Kembali ke Fitrah
Menurut KH. Cholil Nafis, Halal Bi Halal itu prasyarat kembali pada fitrah manusia. Sebab fitrah kembali pada asal kejadian dan kesucian. Manakala masih ada haram kepada orang lain dan belum dihalalkan pastinya belum menggapai fitrahnya.
“Dosa kepada orang lain tak cukup hanya istighfar dan taubat kepada Allah SWT. tetapi juga perlu maaf/ halal dari orang yang disakiti atau dianiaya,” jelasnya.
Lebih lanjut, KH. Cholil Nafis mengatakan, Halal Bi Halal adalah bid’ah (sesuatu yang baru) secara syi’ar, tapi manshushah (perintah teks agama) secara substansi. Inilah perpaduan kreatifitas dan tuntunan agama. Sebab Halal Bi Halal memang model kreasi baru yang kandungannya adalah maaf-memaafkan dan silaturrahim secara langsung.
Menurutnya, Al Qur’an Al Karim menjelaskan bahwa orang yang memaafkan kepada yang lain adalah ciri orang yang bertakwa dan ini selaras dengan tujuan puasa adalah menggapai takwa. Memberi maaf jauh lebih afdhal dari pada minta maaf. Nah, momentum Lebaran dan Idul Fitri adalah sarana saling minta maaf dan memaafkan.
“Silaturrahim yang dikemas dalam acara Halal Bi Halal juga perintah Rasulullah sebagai implementasi keimanan jika hidupnya ingin bahagia, mudah rezeki dan umur panjang.”
Halal Bi Halal, ungkap KH. Cholil, adalah implementasi keimanan dan wujud melakukan syari’at Islam yang dikemas dengan budaya dan tradisi. Juga sarana membangun keakraban dan kesatuan melalui kegiatan. Bahwa semua kesalahan dan khilaf dianggap telas (tiada). Mudah-mudahan dosa-dosa kita telas dan kembali pada fitrahnya. (desastian)