JAKARTA (Panjimas.com) – Indonesia memiliki peluang bonus demografi pada tahun 2035. Sayangnya, masih tingginya angka Balita yang mengalami stunting atau pendek bisa mengancam peluang tersebut. Data pemantauan status gizi (PSG) tahun 2016 menyebutkan jumlah Balita stunting 27,5% (sangat pendek 8,5% dan pendek 19%) sementara target WHO adalah di bawah 20%. Stunting merupakan kondisi di mana perkembangan tinggi badan yang tidak optimal, yang akhirnya berdampak pada kualitas kecerdasan menjadi tidak seperti yang kita harapkan.
“Masalah stunting ini serius. Bayangkan, dari 10 anak 4 diantaranya tidak cerdas. Ini bukan yang kita inginkan. Kita ingin anak-anak Indonesia merupakan anak-anak yang sehat dan cerdas,” tutur Menteri Kesehatan RI, Prof. Nila Farid Moeloek, Sp.M(K) usai Konferensi Pers mengawali kegiatan Lomba Masak Ikan Nusantara “Menuju Istana” di Gedung Bina Graha Kantor Staf Khusus Presiden, Senin siang (3/7).
Data tersebut juga menyebutkan kasus Balita stunting ditemukan di sebagian wilayah Indonesia, terutama di wilayah Nusa Tenggara, Sulawesi, Kalimantan dan Papua.
“Padahal di sana protein hewani ikan banyak sekali. Mungkin ada budaya yang harus kita cerahkan, ada yang bilang bau anyir lah nanti kalau hamil, lalu ibunya tidak boleh makan apa-apa kalau habis melahirkan”, ujar Menkes.
Direktur Jenderal Kesehatan Masyarakat Kemenkes RI, dr. Anung Sugihantono, M.Kes., menerangkan bahwa dalam mengatasi permasalahan gizi terdapat dua solusi yang dapat dilakukan, yaitu dengan intervensi spesifik dan sensitif. Intervensi spesifik diarahkan untuk mengatasi penyebab langsung dan tidak langsung masalah gizi, sedangkan intervensi sensitif diarahkan untuk mengatasi akar masalahnya dan sifatnya jangka panjang.
“Intervensi sensitif salah satunya meningkatkan pengetahuan dan kemampuan dari orang tua atau keluarga tentang hal-hal yang berkaitan dengan gizi”, terang Anung.
Anung menambahkan, kurangnya pengetahuan masyarakat dalam pengolahan menjadikan ikan kurang peminat untuk disajikan menjadi menu andalan keluarga.
“Ikan di sekitar mereka banyak, tetapi tidak mereka konsumsi. Karena kebanyakan dari mereka hanya bisa memasak ikan digoreng dan dibakar saja. Anak-anak jadi lebih cepat bosan makan menu ikan”, terang Anung.
Sebagai bagian upaya peningkatan kualitas sumber daya manusia Indonesia, Pemerintah berupaya untuk meningkatkan pemenuhan gizi masyarakat melalui peningkatan konsumsi konsumsi protein hewani yang bersumber dari ikan.
Mulai dari distribusi ke daerah yang tidak memiliki potensi agar tetap bisa mengonsumsi ikan, sosialisasi mengenai pentingnya pemenuhan gizi, hingga ajakan bagi masyarakat agar mau meningkatkan konsumsi ikan.
Salah satunya melalui kegiatan Lomba Memasak Ikan “Menuju Istana” yang diselenggarakan untuk menumbuhkan kreativitas masyarakat dalam menemukan variasi pengolahan menu ikan agar lebih digemari dan diminati oleh masyarakat. [ES]