JAKARTA (Panjimas.com) – Dalam surat resmi Majelis Mujahidin (MM) bernomor 215/LT MM/IX/1438 pada ILC 30 Mei 2017, Ketua Lajnah Tanfidziyah MM, Ustadz Irfan S. Awwas (tertanggal 1 Juni 2017) mengajak Prof. Dr. Mahfud MD untuk melakukan Uji Shahih terhadap pernyataannya di ILC (Indonesia Lawyers Club) pada 30 Mei 2017 lalu.
Menyimak pernyataan Prof. Dr. Mahfud MD yang disampaikan di forum lLC, 30 Mei 2017 bertajuk “ISIS Sudah di kampung Melayu”, Majelis Mujahidin sebagai institusi perjuangan penegakan Syariah Islam di lembaga negara. merasa perlu menyampaikan appeal terhadap pernyataan terkait tidak perlu adanya khilafah, formalisasi syari’at Islam, karena yang penting substansinya, yang dapat mengaburkan relasi antara Pancasila, Negara“ dan Islam dalam menata kehidupan berbangsa dan bernegara.
Beberapa pernyataan tersebut antara lain :
“Kalau Islam mewajibkan (khilafah. pen) mesti sama, seperti shalat lima waktu Itu sama. Kalau negara (khilafah. pen) semacam ini tidak ada di dalam Islam, tidak ada di dalam Hadits, tidak ada di dalam Qur’an. Semua orang bisa bentuk sendiri. Sekarang negara yang tergabung ke dalam 0KI itu 57 negara Islam, negara kaum muslimin, bentuk negaranya beda-beda, dan semua mengakui ini perintah dari agama, ketika dilacak sumber primernya di Hadits di Qur ‘an tidak ada”.
Menurut Majelis Mujahidin, pernyataan di atas menunjukkan kerancuan berfikir, ketika menyamakan istimbat hukum dari dua amaliyah yang berbeda kategorinya. Mengkiaskan kewajiban mendirikan negara (khilafah) yang merupakan aktifitas sosial kemasyarakatan dengan kewajiban shalat yang merupakan ibadah yang sudah ada ketemuan hukum dan kaifiyatnya, menyalahi logika ilmiah dan syar’iyah.
Aktifitas bernegara merupakan naluriah manusia, karena manusia memerlukan keterpimpinan, keamanan, kenyamanan, kesejahteraan, keadilan, transaksi perdagangan dan hubungan-hubungan sosial lainnya.
Hal ini sama sekali berbeda dengan shalat yang bukan merupakan naluri, melainkan kewajiban ibadah yang termasuk dalam kategori Qur-bah (aktifitas ibadah yang sudah ditentukan waktu dan kaifiyatnya).
Mahfud MD mengatakan, “Maka saya katakan lah kan sudah selesai itu Pancasila, itu sudah khilafah dalam arti sistim pemerintahan, inilah yang kalau di dalam agama itu disebut Mitsaqan ghalidha. Mitsaqan ghalidha itu Modus Divendi (kesepakatan luhur) sudah dicapai. Dan kalau sudah dicapai itu, kalau ada upaya melawan itu bisa disikapi dengan langkah-langkah bersenjata.”
Menanggapi pernyataan Mahfud MD, Majelis Mujahidin menilai pernyataan itu berbahaya dan provokatif yang perlu diklarifikasi landasan historis, filosofis, sosiologis dan konstitusionalnya, karena bisa mendorong munculnya kekuasaan otoriter. Upaya pelurusan dan mengamankan pengertian yang benar tentang Pancasila serta pengamalannya bisa saja dianggap sebagai perlawanan yang bisa disikapi dengan kekuatan senjata.
Mahfud MD melanjutkan, “Kalau dalam kaidah fiqih disebut Maa laa yatimmul waajib ilaa bihi fahuwa waajib, jika sesuatu kewajiban tidak bisa kamu laksanakan kalau tidak ada yang lain. maka yang lain ini wajib juga untukmu. Kalau kamu ingin melaksanakan ajaran agama tidak bisa sempurna kalau tidak punya negara, maka mempunyai negara itu wajib untukmu. ltulah sebabnya kita mendirikan negara Pancasila”.
Majelis Mujahidin menilai konsekuensi pernyataan Mahfud MD tersebut, adalah adanya negara Indonesia yang berfalsafahkan Pancasila ini untuk menyempurnakan pelaksanaan syariat agama, bukan untuk memarginalkan, bahkan mensterilisasi ajaran agama dalam bernegara.
Sebagaimana Deklarasi Alim Ulama NU tentang Hubungan Pancasila dengan Islam pada Munas di Situbondo 21 Desember 1983 yang menyatakan: “Bagi Nahdlatul Ulama, Islam adalah aqidah dan syari’ah, meliputi aspek hubungan manusia dengan Allah dan hubungan antar manusia. Penerimaan dan pengamalan Pancasila merupakan perwujudan dari upaya ummat Islam lndonesia untuk menjalankan syari’at agamanya”.
Selanjutnya Mahfud MD mengatakan, “Ketika Umar berkuasa coret muallaf itu. Muallaf tidak boleh dikasih zakat, muallaf itu orang yang baru masuk Islam. Sekarang kalau mereka masuk Islam kalau kaya bayar zakat, karena dulu Islam memberi bagian zakat kepada mereka ketika Islam masih kecil, sekarang jamannya sudah berbeda waktunya sudah tidak cocok lagi. Jadi, juga kita membuat negara berdasar ketentuan zaman dan tempat. Kata Ibnul Qayyim AI Jauzy laa yunkaru taghayyarul ahkam bitaghayyuril amkan wal azman wal ‘away, tidak bisa dipungkiri bahwa membuat hukum dan lembaga lembaga kenegaraan itu berubah ubah sesuai dengan kebutuhan zaman, tempat dan budaya, bed- beda negara itu.
Menurut Majelis Mujahidin, pernyataan Mahfud MD diatas manipulative, karena menggunakan kaidah atas nama Ibnul Qayim Al Jauzy dengan menisbatkannya kepada Khalifah Umar bin Khattab. Sebab, sebagai khalifah, Umar bin Khathab memiliki otoritas Syar’i untuk menjadi tauladan dalam mengimplementasikan syari’ah dan hukum Islam dalam bernegara.
Berdasarkan beberapa catatan di atas. Majelis Mujahidin mengajak Prof. Dr. Mahfud MD berkenan melakukan uji shahih terhadap pernyataannya di lLC (Indonesia Lawyers Club) edisi 30 Mei 20i7. Sebagai tanggung jawab ilmiah dan syar’iyah, mengingat publik perlu mendapat penjelasan tentang pernyataan dan pandangan yang dapat mengundang salah paham terhadap Khilafah Islamiyah dan urgenslnya melaksanakan Syari’at islam.
Surat itu ditulis di Yogyakarta, 5 Ramadhan 1438 H/1 Juni 20” oleh Ketua Lajnah Tanfidziyah Majelis Mujahidin, Ustadz Irfan S. Awwas dan M. Shabbarln Syakur (Sekretaris) dengan menyetujui Amir Ma’ells Mujahidin, Ustadz Muhammad Thalib. []