JAKARTA, (Panjimas.com) – Kesepakatan antara DPR dan Pemerintah atas perpanjangan masa penahanan dan masa penangkapan menuai kritik. Aktivis Muhammadiyah Musthofa Nahrawardaya mensinyalir bahwa lahirnya teroris-teroris baru disebabkan karena tidak adanya keadilan atas pelanggaran HAM yang terjadi pada saat masa penangkapan.
“Jadi musuh utama teroris itu adalah aparat bukan masyarakat. Mereka ingin membalas (dendam) ‘wong suami saya tidak bersalah kok ditembak mati, suami saya lagi sholat kok ditangkep tanpa surat,” kata Musthofa Nahrawardaya kepada Panjimas.com, Sabtu (18/6/2017).
Menurutnya, kalau suatu penangkapan itu tidak transparan apalagi tertutup sekali (tidak memberi akses kepada keluarga) akhirnya pamannya, istrinya, kakaknya, adiknya serta keluarga dan teman-temannya yang merasa tidak mendapatkan keadilan bisa saja menjadi teroris baru. “Bukan teroris palsu tapi teroris asli,” lanjut Musthofa.
Seperti diketahui, masa penahanan untuk tersangka teroris dari sebelumnya 710 hari menjadi 781 hari dalam ketentuan di RUU Terorisme yang telah disepakati DRP dan Pemerintah.
Tidak hanya itu, masa penangkapan yang dalam ketentuan sebelumnya seseorang ditahan dengan dugaan tindak pidana terorisme selama 7 hari tetapi dalam ketentuan di RUU Terorisme DRP dan Pemerintah setuju untuk memperpanjang menjadi 14 hari. Bila tidak cukup, polisi bisa meminta perpanjangan waktu selama 7 hari dengan pertimbangan kejaksaan. Maka total masa penangkapan menjadi 21 hari.
Oleh karena itu, Aktivis Muhammadiyah Musthofa Nahrawardaya menduga kuat terjadinya penyiksaan dalam masa penangkapan.
“Jadi kalo 7×24 jam menjadi 21 hari itu namanya penangkapan incommunicado (penanganan tanpa akses dunia luar) artinya seseorang ditangkap kemudian ditutup aksesnya 7×24 jam, apalagi 21 hari, sudah pasti berpotensi pada penyiksaan.” Tandasnya.[DP]