JAKARTA (Panjimas.com) – Majelis Ulama Indonesia (MUI) menegaskan, makanan yang dikonsumsi perlu mendapatkan sertifikasi halal oleh MUI. Apalagi, jika produk itu berasal dari luar negeri dengan bahasa yang tidak dipahami oleh masyarakat.
“Produk yang bisa dikonsumsi umat Muslim Indonesia harus mendapat sertifikat dari MUI. Sebelum ada sertifikat halal, umat Muslim memang harus lebih hati-hati dalam mengonsumsinya. Untuk memastikan produk halal itu, MUI sudah memiliki Lembaga Pengkajian Pangan, Obat-obatan, dan Kosmetika (LPPOM),” kata Sekretaris Jenderal MUI Anwar Abbas.
“LPPOM mengaudit, lalu hasilnya dibawa ke komisi fatwa MUI. Lantas, dibahas dan diputuskan halal atau tidak. Kalau halal dikeluarkan sertifikatnya,” ujar Anwar kepada wartawan.
Empat produk mi instan asal Korea Selatan yang dinyatakan mengandung babi oleh BPOM juga melewati fase itu. Namun, pada kenyataannya empat produk itu tidak memiliki logo halal dari MUI.
“Produsen juga harus jujur dalam menginformasikan bahan-bahan yang terkandung dalam mi instan itu. Apalagi, ketika memasuki pasar Indonesia yang mayoritas penduduknya adalah Muslim. Menurutnya, kalau ada upaya menyembunyikan bahan babi, itu merupakan sifat nakal produsen,” ujar Abbas.
Sama seperti di Indonesia, auditor yang menguji kandungan di dalam produk di Korea Selatan juga terdiri dari peneliti dan ulama. Sementara di beberapa negara seperti Australia, mereka memiliki lembaga audit sendiri untuk menentukan halal atau tidaknya. Namun jika produk tersebut merupakan produk yang akan diekspor ke Indonesia, tetap perlu izin dari MUI.
“Kalau memenuhi kriteria MUI, maka dikeluarkan sertifikat kepada lembaga tersebut. Kalau nggak ada sertifikat halal dari MUI, nggak bisa masuk ke Indonesia,” tukas Anwar.
Seperti diberitakan sebelumnya, BPOM menarik empat Mi asal Korea, yakni: Mi Instan U-Dong (Samyang), Nongshim Mi Instan Shin Ramyun Black (Nongshim), Mi Instan Rasa Kimchi (Samyang) , Mi Instan Yeul Ramen (Ottogi). (desastian)