TAIZ, (Panjimas.com) – Bentrokan sengit dan pertempuran artileri meletus Kamis (16/06) antara pasukan pro-pemerintah Hadi dan pemberontak Syiah Houthi di kota Taiz di wilayah Barat Daya, Yaman, demikian menurut pernyataan juru bicara militer Yaman.
“Beberapa posisi tentara di dekat Istana Republik Taiz berada di bawah serangan Houthi pada hari Kamis, yang menyebabkan bentrokan dengan kekerasan,” kata Kolonel Abdul Basset al-Bahr, seorang juru bicara militer dalam sebuah pernyataan, dikutip dari Anadolu.
“Pada akhirnya, serangan tersebut dihadang,” tambah al-Bahr.
Ia mencatat bahwa setidaknya seorang tentara Yaman bersama dengan sejumlah milisi Houthi yang tidak ditentukan jumlahnya telah tewas dalam huru-hara tersebut.
Menurut juru bicara militer Yaman, Kolonel Abdul Basset al-Bahr, bentrokan Kamis berlangsung dengan pertempuran artileri yang sengit antara kedua belah pihak, di samping serangan udara terhadap posisi Houthi yang dilakukan oleh sebuah pasukan koalisi militer pimpinan Saudi.
Yaman yang kini menjadi negara miskin, tetap berada dalam keadaan kacau sejak tahun 2014, ketika milisi Syiah Houthi dan sekutunya menguasai ibukota Sanaa dan bagian-bagian lain negara ini.
Sejak Maret 2015, koalisi interansional yang dipimpin Saudi telah memerangi pemberontak Syiah Houthi yang disokong rezim Iran dan pasukan-pasukan yang setia kepada mantan Presiden Yaman Ali Abdullah Saleh, Arab Saudi dan sekutu-sekutu negara Muslim Sunni meluncurkan kampanye militer besar-besaran yang bertujuan untuk mengembalikan kekuasaan yang diakui secara internasional dibawah Presiden Abd-Rabbu Mansour Hadi.
Arab Saudi dan para sekutunya melihat milisi Houthi sebagai proxy kekuatan Iran di dunia Arab. Koalisi militer Arab yang dipimpin oleh Saudi di Yaman terdiri dari Koalisi 10 negara yakni Arab Saudi, Kuwait, Uni Emirat Arab, Qatar, Bahrain, Yordania, Mesir, Maroko, Sudan, dan Pakistan.
Menurut pejabat PBB, lebih dari 10.000 warga Yaman telah tewas akibat konflik berkepanjangan ini, sementara itu lebih dari 11 persen dari jumlah penduduk negara itu terpaksa mengungsi, sebagai akibat langsung dari pertempuran yang tak kunjung usai. Untuk diketahui, lebih dari setengah total korban adalah warga sipil. sementara 3 juta lainnya diperkirakan terpaksa mengungsi, di tengah penyebaran malnutrisi dan penyakit.[IZ]